- 09.36 - 0 komentar
Inovasi Kurikulum
SETIAP ganti menteri (pendidikan) kurikulum berganti. Keluhan sedemikian disuarakan berbagai pihak sebagai ungkapan kesal terhadap kebijakan pembaharuan (inovasi) kurikulum. Kalau disuarakan oleh mereka yang tidak paham pendidikan, wajar saja. Tapi, dari sudut pandang ahli kurikulum, kurikulum harus dirubah, minimal diperbaharui atau diperbaiki.
Kenapa kurikulum dirubah atau kenapa pembaharuan (perbaikan) kurikulum dilakukan? Ya, karena kurikulum adaah ‘landas pacu’ pencapaian tujuan pendidikan. Kalau suatu sistem pendidikan —katakanlah tingkat SMTA— ‘menghasilkan’ lulusan yang tidak mampu menjadikan peserta didik cakap berbahasa Inggris atau matematika, pasti ada something wrong pada implementasi kurikulum.
Bisa jadi, karena gurunya ketika dididik di LPTK, tidak mencapai kompetensi yang seharusnya, dan atau, bisa pula kerena gurunya guru (dosen) tidak kompeten mendidik calon guru. Dalam kajian kurikulum, tentu tidak dibenarkan hanya berdasarkan asumsi. Karena itu, ada bagian sangat esensial setelah tujuan, bahan, metode— yaitu evaluasi. Artinya, inovasi atau perubahan wajib berdasarkan evaluasi suatu kurikulum setelah diimplementasikan.
Dengan kata lain, adalah kekeliruan besar manakala perubahan kurikulum hanya dilakukan berdasarkan ‘selera’ atau ‘mimpi’ segelintir orang yang tidak paham esensi kurikulum. Dan, (maaf) dalam banyak kasus justeru hal tersebut yang dilakukan sehingga muncul sarkisme atau satire seperti yang disajikan pada introdusir tulisan ini; ganti menteri ganti kurikulum, ganti dekan ganti kurikulum.
Perubahan dan Pembaharuan Kurikulum
Perubahan kurikulum merujuk kepada perubahan dasar-dasarnya; tujuan, bahannya, metode mencapai tujuan, dan sistem evaluasi. Misalnya, tujuan pendidikan FKIP Unlam yang semula berbasis pendidikan guru dirubah menjadi lembaga pendidikan keilmuan. Karena itu —kita ambil satu bagian kecil— bahan-bahan ajarnya menjadi ‘Metode Penelitian Sejarah’ (Metode Sejarah), bukan lagi Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Kenapa? Karena esensi pendidikan sejarah —pada FKIP— bertukar rupa menjadi keilmuan sejarah. Pengajaran biologi bukan lagi agar, bagaimana calon guru mampu mengajarkan biologi, tetapi … penelitian (murni) biologi. Hal ini mengacu kepada hal dasarnya, hal esensial.
Pembaharuan, atau lazim juga dipakai istilah perbaikan, dan atau, inovasi kurikulum merujuk kepada perbaikan satu atau beberapa aspek. Misalnya, mengenai metode mengajar atau alat peraga sedangkan tujuan tidak berubah. Inovasi lebih kepada membaguskan praktik kurikulum dalam mencapai tujuan pendidikan.
Sekali lagi, baik perubahan atau perbaikan kurikulum berdasarkan evaluasi kurikulum yang tengah diberlakukan. Kalau aspek evalusi ditinggalkan, maka perubahan demikian ibarat perubahan yang dilakukan oleh penjual bakso, dilakukan berdasarkan seleranya. Sangat tidak akademikal dan jauh dari nyawa saintifik.
Asas Kurikulum
Perubahan dan pembaharuan kurikulum, haruslah pula dilihat dari asasnya. Ketika filsafat dan tujuan pendidikan berubah, sistem pendidikan menuntut perubahan atau pembaharuan.
Ketika kita menganut filsafat pendidikan Pancasila berbasis ‘demokrasi terpimpin’ dimana sistem yang dibangun berdasarkan sentralistik, kemudian berubah dengan alam reformasi dimana sistem pendidikan dibangun berdasarkan desentralisasi, maka tidak dapat tidak, perubahan atau perbaikan dilakukan di segala level dan jenjang.
Pada contoh yang tegas, filsafat pendidikan Islam berbeda dengan filsafat pendidikan Kristen, seperti juga filsafat pendidikan liberal sangat berbeda dengan pendidikan Pancasila. Ketika kita di jaman reformasi, kurikulum yang dikeluarkan Jakarta, tidak masanya lagi ‘ditelan’ begitu saja. Sebab, ada asas penyerta yang sangat penting, ada kondisi obyektif daerah yang nuansanya tidak sama dengan ‘pusat’. Adalah konyol kalau hanya menelan ‘umpan’ Jakarta tanpa kemampuan berdasarkan kondisi obyek setempat.
Asas psikologis, mencakup psikologi belajar dan psikologi anak (peserta didik) apabila mengalami perubahan (kemajuan) juga menuntut perubahan dan pemaharuan kurikulum. Mendidik dengan pemahaman ‘teacher centered’ sudah tidak masanya lagi, sudah ketinggalan zaman.
Pendidikan moderen bukan lagi berprinsip, guru adalah ceret yang menuangkan air (ilmu) ke gelas (murid), sebab teorinya berbasis, setiap anak dapat belajar apabila guru mampu memfasilitasi dan atau memotivasi (student centered). Dalam katup ini, peran guru bergeser. Manakala masih ada guru (dosen) masih merasa jago dengan ilmunya yang harus dituangkan kepada murid yang kosong (tabularasa), berarti ini pampangan kekonyolan abad moderen.
Asas sosiologis mengarah kepada pandangan masyarakat atau kondisi obyektif tuntutan masyarakat. Bahkan, hal ini perlu dicatat, bagi perancang kurikulum yang cerdas, anak yang dididik saat ini dipersiapkan untuk hidup lima, sepuluh, atau puluhan tahun ke depan. Adalah sesuatu yang tidak bisa diampuni, bahkan menjerumuskan anak didik ke kolam kejahiliyahan, manakala heregene masih ada guru (dosen) yang meminta muridnya menuliskan bahan ajar di papan tulis untuk disalin murid lainnya.
Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang mampu menjawab proyeksi pendidikan ke depan, yaitu kehidupan masyarakat yang kompetitif berbasis kompetensi kehidupan. Bukan murid pembeo yang hanya bisa menyalin apa yang dipunyai guru, tetapi pendidikan yang memungkinkan peserta didik berinovasi dalam menjalani kehidupan kelak. Muncul paradigma life-skill, kontekstual (untuk zamannya), dan segala macamnya.
Pada era ekplosi ilmu dan teknologi seperti saat ini, jelas menuntut perubahan atau pembaharuan pendidikan di segala jenjang dan level dan pada setiap pilahan kurikulum. Tuntutannya, guru (dosen) menguasai mindah teknologi dan pemanfaatan teknologi untuk kepentingan pendidikan.
Coba bayangkan. Lima atau sepuluh tahun ke depan dapat dipastikan kehidupan berbasis teknologi. Tuntutannya sistem pendidikan harus dapat menjawab tantangan tersebut. Di pusat-pusat pemikiran pendidikan dikembangkan apa yang disebut e-learning, electronic learning. Pertanyaannya: Sudahkah sistem pendidikan atau kurikulum dibangun mengacu secara proyektif ke arah hal tersebut?
Sudahkah dosen-dosen dibekali dengan kemampuan e-learning? Jangan-jangan masih ada dosen yang doyan mesin tik atau ‘cakar ayam’. Sebagai lembaga pendidikan yang berVisi-Misinya sebagai LPTK yang menyiapkan mahasiswanya mempunyai kemampuan memanfaatkan teknologi, sudahah menyiapkan perangkat teknologi? Kemampuan merancang pendidikan berdasarkan teknologi? Berapa sih dipersiapkan komputer untuk 6.000 mahasiswa? Apakah rasionya rasional? Entahlah.
Kalau tidak berdasarkan evaluasi berdasarkan hal-hal tersebut, perubahan atau inovasi kurikulum akan terjerembab menjadi dongeng. Tuntutannya, bagaimana baseline, bagaimana rancangan program, dan ketersediaan dana.
Relevansi Kurikulum
Dalam membangun kurikulum, apalagi dalam perubahan atau perbaikan, relevansi menjadi hal utama. Seorang mahasiswa meneliti Relevansi Program Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin dengan Kurikulum Sekolah Menengah Tingkat Pertama untuk skripsinya. Kesimpulannya?
Tidak relevan. Saya gembira, ada mahasiswa yang begitu tajam, obyektif, dan saintifik meneliti relevansi kurikulum. Sementara, dosen-dosennya yang sarjana, magister, dan doktor, gagah berani menerapkan kurikulum yang tidak relevan tersebut. Di SMTP mata pelajarannya IPS, PSP Sejarah mendidik mahasiswanya berbasis mata pelajaran sejarah.
Kesimpulan lanjutnya tidak kalah cerdasnya … kurangnya informasi yang jelas dan sistematis mengenai penerapan kurikulum baru di sekolah dari pihak LPTK menyebabkan mahasiswa (calon guru) bingung, tergagap, dan kurang siap ketika dihadapkan kepada sesuatu yang baru di lapangan. Apa yang mereka pelajari di bangku kuliah sangat berbeda dengan apa yang terjadi di sekolah …
Ranah ini adalah ranah relevansi ke luar. Relevansi ke luar bermakna, tujuan, isi, PBM, dan evaluasi relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Kalau pengembang dan pelaksana kurikulum lebih cerdas, mereka akan paham, kurikulum bukan hanya menyiapkan peserta didik untuk saat ini, tetapi juga masa datang.
Relevansi ke dalam berarti ada keseuaian antara komponen tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Kalau relevansi ke (di) dalam tidak beres, relevansi ke luar dengan sendirinya tidak akan tercapai. Jadi, relevansi kurikulum adalah roh tujuan kurikulum.
Prinsip fleksibilitas adalah tuntutan berikutnya. Suatu kali saya bertanya kepada seorang teman yang melaksanakan program alih tahun (PAT). Atas dasar apa Sampeyan ‘berani’ mengajar di PAT? Menolong mahasiswa, jawabnya. Saya setuju dengan hal tersebut karena memang bagian implementasi fkesibilitas kurikulum.
Kurikulum harus mampu ‘menyambut’ keberbedaan peserta didik. Ada yang ‘cepat’ ada yang ‘lambat’ sementara rancangan berawal dari rata-rata pada kurva normal. Mahasiswa cerdas, dengan PAT ‘kecerdasannya’ terakomodasi hingga tidak dirugikan. Seuatu yang sangat bagus. Begitu pula yang lamban, dimana pelaksanaan kurikulum jangan ‘membunuh’ peserta didik yang agak ‘lambat’. Tetapi, ketika PAT bisa diambil oleh siapa saja, dan mata kuliah apa saja, terjadilah ‘pembantaian’ asas fleksibilitas.
Kalau terus berlanjut, ada implikasi teoritikal dan praktikal. Berlakukan PAT untuk semua peserta didik dan semua mata pelajaran. Kuliah cukup dalam sebulan. Insya Allah, dalam setahun mampu melahirkan sarjana handal. Dan, akan menjadi penemuan spektakuler di dunia pendidikan.
Prinsdip kontinuitas diapungkan dengan maksud proses pendidikan berkesinambungan. Hal ini tidak perlu diberi illustrasi karena sudah jelas dengan sendiri. Prinsip berikutnya, hendaknya kurikulum mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana, dan kalau perlu biayanya semurah mungkin. Kurikulum harus praktis, atau kata lainnya efisien. Efisiensi, terutama di negara yang kikir terhadap pendidikan ini, merupakan hal yang wajib hukumnya.
Menurut pemahaman saya, FKIP Unlam sangat-sangat efisien. Saking efisiennya, dosen saja tidak mempunyai meja dan kursi sendiri untuk menunjang pekerjaan profesionalnya. Karena beberapa tahun terakhir sering diundang organisasi intra dan ekstra mahasiswa sebagai nara sumber Manajemen dan Penulisan di lingkungan fakultas-fakultas Unlam Banjarbaru, saya jadi cemburu, sarana dan prasarana, dan peralatan pendidikan mereka lebih memadai, fasilitasnya jauh lebih bagus. Mungkin, mereka lebih sadar, kita lebih efisien. Padahal, mereka bukan orang-orang berbasik ilmu pendidikan. Soal pilihan saja kiranya.
Prinsip efektivitas dalam mendayung keberhasilan, kualitas dan kuantitas, tidak dapat dilepaskan, dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan, yang merupakan bagian dari penjabaran kebijaksanaan-kebijaksanan pemerintah dalam bidang pendidikan. Ini adalah pegangan pengembang kurikulum.
Dalam illustrasi sederhananya begini. Pemerintah (daerah) misalnya membutuhkan guru Bahasa Indonesia 50 dalam setahun. Itu berdasarkan pembambahan sekolah 50 setiap tahun atau 50 guru pensiun. Hingga kebutuhan terpenuhi. Kewajiban LPTK memenuhi kebutuhan pemerintah.
Seorang teman tidak habis pikir, kenapa PSP Bahasa Indonesia, sebagaiman saja di PSP Sejarah, berbingungria dengan saya mendiskusikannya, kenapa kita tega-teganya menggarap proyek mahasiswa mandiri? Jujur saja, kami tidak mampu memahaminya.
Sebab, secara proyektif dalam lima tahun ke depan akan ada penumpukan dari 500 ‘produksi’ sebanyak 400 guru dikurangi daya serap per tahun yang kira-kira 100 guru. Akan dikemanakan mereka? Bisa jadi, seperti pengalaman di beberapa fakultas, akhirnya programnya tidak diminati lagi karena tergelincir menjadi pencetak pengangguran. Bisa-bisa kita menyiapkan kuburan massal. Semoga tidak. Lalu siapa yang diuntungkan?
Saya pernah mengajar di program mandiri. Oleh program studi dibayar Rp.50 ribu (2 SKS), dipotong pajak tinggal Rp.42.500,00. Uang transportasi Rp.20.000,00. Salary Rp.62.500. Artinya, saya berkontribusi, bensin mobil Rp.100 ribu Banjarbaru-Banjarmasin. Padahal, uang pangkalnya saja Rp.3 juta, SPP Rp.1.150 ribu. Tidak ada PT di Kalimantan Selatan yang uang pangkal dan SPP sebesar itu.
Perlu dipahami, PT swasta membangun kantor, menggaji dosen, dan atau baya operasional lainnya dari SPP. Lalu, siapa yang sejahtera? Entahlah. Sampai hari in, saya tidak pernah tahu berapa pendapatan rill FKIP dari proyek maha besar tersebut, dan untuk apa digunakan.
Saya ingin menambahkan, prinsip transparansi —sekalipun selama belajar kurikulum tidak dinyatakan ekplisit— harap pula dijadikan hal mendasar. Tanpa transparansi pelaksanakan kurikulum tidak akan pernah maksimal. Dan, transparansi itu sangat mudah. Kecuali ada pertimbangan lain.
Sekadar Pemantik
Para Semilokawan yang terhormat. Senganya paparan ini dibuat dengan sangat sederhana berbasis bahasa sederhana pula, bukan bahasa ilmiah, agar lebih merangsang pemahaman. Paparan bukan dimaksudkan untuk ‘menggurui’, tetapi tidak lain tidak bukan sebagai pemantik, dan karena itu dilengkapi illustrasi untuk mengingatkan kita semua, perubahan atau inovasi kurikulum sebaiknya berlandaskan asas-asas dan prinsip-prinsip kurikulum.
Kurikulum memerlukan perubahan, setidaknya perbaikan dalam rangka menjangkau tujuang kurikulum, dan itu tidak dapat dilakukan tanpa evaluasi. Himbauan bawaannya, sebagai ilmuwan kependidikan, jangan terjerembab merubah atau memperbaiki kurikulum karena sebab-sebab lain.
Karena itu pula, kalau ada yang kurang berkenan, mohonlah dipahami. Menurut pebijak, illustrasi dan atau contoh yang baik adalah apa yang berlaku di sekitar kita, sekalipun terkadang bisa dirasakan getir. Ibarat kata, kita jangan hanya berani mendemo Amerka Serikat atau Israil, yang karena jauh dari jangkauan, tidak berisiko.
Menelaah apa yang terjadi di sekitar, apalagi dalam diri, akan langsung menjadi umpan balik bagi perbaikan. Perbaikan itu yang kita panah, bukan berdebat soal ini yang baik itu yang jelek. Pekerjaan kita, apabila sudah dimulai, tidak bijak dibuang begitu saja, tetapi prinsip penyempurnaan lebih bijak dipakai.
Di tangan Ibu dan bapak, sebagai birokrat kampus, sudah ada ‘kurikulum’ yang dibangun sedemikian dengan memakan waktu panjang. Tidak ada satu anjuran pada paparan ini memporakporandakannya, tetapi alangkah baiknya, ke depan, banyak hal perlu diperhatikan bagi perbaikan kurikulum. Hal-hal paling esesial secara tersurat dan tersirat telah termuat dalam paparan ini.
sumber : Ersis Warmansyah Abbas Magister Pengembangan Kurikulum
Kenapa kurikulum dirubah atau kenapa pembaharuan (perbaikan) kurikulum dilakukan? Ya, karena kurikulum adaah ‘landas pacu’ pencapaian tujuan pendidikan. Kalau suatu sistem pendidikan —katakanlah tingkat SMTA— ‘menghasilkan’ lulusan yang tidak mampu menjadikan peserta didik cakap berbahasa Inggris atau matematika, pasti ada something wrong pada implementasi kurikulum.
Bisa jadi, karena gurunya ketika dididik di LPTK, tidak mencapai kompetensi yang seharusnya, dan atau, bisa pula kerena gurunya guru (dosen) tidak kompeten mendidik calon guru. Dalam kajian kurikulum, tentu tidak dibenarkan hanya berdasarkan asumsi. Karena itu, ada bagian sangat esensial setelah tujuan, bahan, metode— yaitu evaluasi. Artinya, inovasi atau perubahan wajib berdasarkan evaluasi suatu kurikulum setelah diimplementasikan.
Dengan kata lain, adalah kekeliruan besar manakala perubahan kurikulum hanya dilakukan berdasarkan ‘selera’ atau ‘mimpi’ segelintir orang yang tidak paham esensi kurikulum. Dan, (maaf) dalam banyak kasus justeru hal tersebut yang dilakukan sehingga muncul sarkisme atau satire seperti yang disajikan pada introdusir tulisan ini; ganti menteri ganti kurikulum, ganti dekan ganti kurikulum.
Perubahan dan Pembaharuan Kurikulum
Perubahan kurikulum merujuk kepada perubahan dasar-dasarnya; tujuan, bahannya, metode mencapai tujuan, dan sistem evaluasi. Misalnya, tujuan pendidikan FKIP Unlam yang semula berbasis pendidikan guru dirubah menjadi lembaga pendidikan keilmuan. Karena itu —kita ambil satu bagian kecil— bahan-bahan ajarnya menjadi ‘Metode Penelitian Sejarah’ (Metode Sejarah), bukan lagi Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Kenapa? Karena esensi pendidikan sejarah —pada FKIP— bertukar rupa menjadi keilmuan sejarah. Pengajaran biologi bukan lagi agar, bagaimana calon guru mampu mengajarkan biologi, tetapi … penelitian (murni) biologi. Hal ini mengacu kepada hal dasarnya, hal esensial.
Pembaharuan, atau lazim juga dipakai istilah perbaikan, dan atau, inovasi kurikulum merujuk kepada perbaikan satu atau beberapa aspek. Misalnya, mengenai metode mengajar atau alat peraga sedangkan tujuan tidak berubah. Inovasi lebih kepada membaguskan praktik kurikulum dalam mencapai tujuan pendidikan.
Sekali lagi, baik perubahan atau perbaikan kurikulum berdasarkan evaluasi kurikulum yang tengah diberlakukan. Kalau aspek evalusi ditinggalkan, maka perubahan demikian ibarat perubahan yang dilakukan oleh penjual bakso, dilakukan berdasarkan seleranya. Sangat tidak akademikal dan jauh dari nyawa saintifik.
Asas Kurikulum
Perubahan dan pembaharuan kurikulum, haruslah pula dilihat dari asasnya. Ketika filsafat dan tujuan pendidikan berubah, sistem pendidikan menuntut perubahan atau pembaharuan.
Ketika kita menganut filsafat pendidikan Pancasila berbasis ‘demokrasi terpimpin’ dimana sistem yang dibangun berdasarkan sentralistik, kemudian berubah dengan alam reformasi dimana sistem pendidikan dibangun berdasarkan desentralisasi, maka tidak dapat tidak, perubahan atau perbaikan dilakukan di segala level dan jenjang.
Pada contoh yang tegas, filsafat pendidikan Islam berbeda dengan filsafat pendidikan Kristen, seperti juga filsafat pendidikan liberal sangat berbeda dengan pendidikan Pancasila. Ketika kita di jaman reformasi, kurikulum yang dikeluarkan Jakarta, tidak masanya lagi ‘ditelan’ begitu saja. Sebab, ada asas penyerta yang sangat penting, ada kondisi obyektif daerah yang nuansanya tidak sama dengan ‘pusat’. Adalah konyol kalau hanya menelan ‘umpan’ Jakarta tanpa kemampuan berdasarkan kondisi obyek setempat.
Asas psikologis, mencakup psikologi belajar dan psikologi anak (peserta didik) apabila mengalami perubahan (kemajuan) juga menuntut perubahan dan pemaharuan kurikulum. Mendidik dengan pemahaman ‘teacher centered’ sudah tidak masanya lagi, sudah ketinggalan zaman.
Pendidikan moderen bukan lagi berprinsip, guru adalah ceret yang menuangkan air (ilmu) ke gelas (murid), sebab teorinya berbasis, setiap anak dapat belajar apabila guru mampu memfasilitasi dan atau memotivasi (student centered). Dalam katup ini, peran guru bergeser. Manakala masih ada guru (dosen) masih merasa jago dengan ilmunya yang harus dituangkan kepada murid yang kosong (tabularasa), berarti ini pampangan kekonyolan abad moderen.
Asas sosiologis mengarah kepada pandangan masyarakat atau kondisi obyektif tuntutan masyarakat. Bahkan, hal ini perlu dicatat, bagi perancang kurikulum yang cerdas, anak yang dididik saat ini dipersiapkan untuk hidup lima, sepuluh, atau puluhan tahun ke depan. Adalah sesuatu yang tidak bisa diampuni, bahkan menjerumuskan anak didik ke kolam kejahiliyahan, manakala heregene masih ada guru (dosen) yang meminta muridnya menuliskan bahan ajar di papan tulis untuk disalin murid lainnya.
Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang mampu menjawab proyeksi pendidikan ke depan, yaitu kehidupan masyarakat yang kompetitif berbasis kompetensi kehidupan. Bukan murid pembeo yang hanya bisa menyalin apa yang dipunyai guru, tetapi pendidikan yang memungkinkan peserta didik berinovasi dalam menjalani kehidupan kelak. Muncul paradigma life-skill, kontekstual (untuk zamannya), dan segala macamnya.
Pada era ekplosi ilmu dan teknologi seperti saat ini, jelas menuntut perubahan atau pembaharuan pendidikan di segala jenjang dan level dan pada setiap pilahan kurikulum. Tuntutannya, guru (dosen) menguasai mindah teknologi dan pemanfaatan teknologi untuk kepentingan pendidikan.
Coba bayangkan. Lima atau sepuluh tahun ke depan dapat dipastikan kehidupan berbasis teknologi. Tuntutannya sistem pendidikan harus dapat menjawab tantangan tersebut. Di pusat-pusat pemikiran pendidikan dikembangkan apa yang disebut e-learning, electronic learning. Pertanyaannya: Sudahkah sistem pendidikan atau kurikulum dibangun mengacu secara proyektif ke arah hal tersebut?
Sudahkah dosen-dosen dibekali dengan kemampuan e-learning? Jangan-jangan masih ada dosen yang doyan mesin tik atau ‘cakar ayam’. Sebagai lembaga pendidikan yang berVisi-Misinya sebagai LPTK yang menyiapkan mahasiswanya mempunyai kemampuan memanfaatkan teknologi, sudahah menyiapkan perangkat teknologi? Kemampuan merancang pendidikan berdasarkan teknologi? Berapa sih dipersiapkan komputer untuk 6.000 mahasiswa? Apakah rasionya rasional? Entahlah.
Kalau tidak berdasarkan evaluasi berdasarkan hal-hal tersebut, perubahan atau inovasi kurikulum akan terjerembab menjadi dongeng. Tuntutannya, bagaimana baseline, bagaimana rancangan program, dan ketersediaan dana.
Relevansi Kurikulum
Dalam membangun kurikulum, apalagi dalam perubahan atau perbaikan, relevansi menjadi hal utama. Seorang mahasiswa meneliti Relevansi Program Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin dengan Kurikulum Sekolah Menengah Tingkat Pertama untuk skripsinya. Kesimpulannya?
Tidak relevan. Saya gembira, ada mahasiswa yang begitu tajam, obyektif, dan saintifik meneliti relevansi kurikulum. Sementara, dosen-dosennya yang sarjana, magister, dan doktor, gagah berani menerapkan kurikulum yang tidak relevan tersebut. Di SMTP mata pelajarannya IPS, PSP Sejarah mendidik mahasiswanya berbasis mata pelajaran sejarah.
Kesimpulan lanjutnya tidak kalah cerdasnya … kurangnya informasi yang jelas dan sistematis mengenai penerapan kurikulum baru di sekolah dari pihak LPTK menyebabkan mahasiswa (calon guru) bingung, tergagap, dan kurang siap ketika dihadapkan kepada sesuatu yang baru di lapangan. Apa yang mereka pelajari di bangku kuliah sangat berbeda dengan apa yang terjadi di sekolah …
Ranah ini adalah ranah relevansi ke luar. Relevansi ke luar bermakna, tujuan, isi, PBM, dan evaluasi relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Kalau pengembang dan pelaksana kurikulum lebih cerdas, mereka akan paham, kurikulum bukan hanya menyiapkan peserta didik untuk saat ini, tetapi juga masa datang.
Relevansi ke dalam berarti ada keseuaian antara komponen tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Kalau relevansi ke (di) dalam tidak beres, relevansi ke luar dengan sendirinya tidak akan tercapai. Jadi, relevansi kurikulum adalah roh tujuan kurikulum.
Prinsip fleksibilitas adalah tuntutan berikutnya. Suatu kali saya bertanya kepada seorang teman yang melaksanakan program alih tahun (PAT). Atas dasar apa Sampeyan ‘berani’ mengajar di PAT? Menolong mahasiswa, jawabnya. Saya setuju dengan hal tersebut karena memang bagian implementasi fkesibilitas kurikulum.
Kurikulum harus mampu ‘menyambut’ keberbedaan peserta didik. Ada yang ‘cepat’ ada yang ‘lambat’ sementara rancangan berawal dari rata-rata pada kurva normal. Mahasiswa cerdas, dengan PAT ‘kecerdasannya’ terakomodasi hingga tidak dirugikan. Seuatu yang sangat bagus. Begitu pula yang lamban, dimana pelaksanaan kurikulum jangan ‘membunuh’ peserta didik yang agak ‘lambat’. Tetapi, ketika PAT bisa diambil oleh siapa saja, dan mata kuliah apa saja, terjadilah ‘pembantaian’ asas fleksibilitas.
Kalau terus berlanjut, ada implikasi teoritikal dan praktikal. Berlakukan PAT untuk semua peserta didik dan semua mata pelajaran. Kuliah cukup dalam sebulan. Insya Allah, dalam setahun mampu melahirkan sarjana handal. Dan, akan menjadi penemuan spektakuler di dunia pendidikan.
Prinsdip kontinuitas diapungkan dengan maksud proses pendidikan berkesinambungan. Hal ini tidak perlu diberi illustrasi karena sudah jelas dengan sendiri. Prinsip berikutnya, hendaknya kurikulum mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana, dan kalau perlu biayanya semurah mungkin. Kurikulum harus praktis, atau kata lainnya efisien. Efisiensi, terutama di negara yang kikir terhadap pendidikan ini, merupakan hal yang wajib hukumnya.
Menurut pemahaman saya, FKIP Unlam sangat-sangat efisien. Saking efisiennya, dosen saja tidak mempunyai meja dan kursi sendiri untuk menunjang pekerjaan profesionalnya. Karena beberapa tahun terakhir sering diundang organisasi intra dan ekstra mahasiswa sebagai nara sumber Manajemen dan Penulisan di lingkungan fakultas-fakultas Unlam Banjarbaru, saya jadi cemburu, sarana dan prasarana, dan peralatan pendidikan mereka lebih memadai, fasilitasnya jauh lebih bagus. Mungkin, mereka lebih sadar, kita lebih efisien. Padahal, mereka bukan orang-orang berbasik ilmu pendidikan. Soal pilihan saja kiranya.
Prinsip efektivitas dalam mendayung keberhasilan, kualitas dan kuantitas, tidak dapat dilepaskan, dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan, yang merupakan bagian dari penjabaran kebijaksanaan-kebijaksanan pemerintah dalam bidang pendidikan. Ini adalah pegangan pengembang kurikulum.
Dalam illustrasi sederhananya begini. Pemerintah (daerah) misalnya membutuhkan guru Bahasa Indonesia 50 dalam setahun. Itu berdasarkan pembambahan sekolah 50 setiap tahun atau 50 guru pensiun. Hingga kebutuhan terpenuhi. Kewajiban LPTK memenuhi kebutuhan pemerintah.
Seorang teman tidak habis pikir, kenapa PSP Bahasa Indonesia, sebagaiman saja di PSP Sejarah, berbingungria dengan saya mendiskusikannya, kenapa kita tega-teganya menggarap proyek mahasiswa mandiri? Jujur saja, kami tidak mampu memahaminya.
Sebab, secara proyektif dalam lima tahun ke depan akan ada penumpukan dari 500 ‘produksi’ sebanyak 400 guru dikurangi daya serap per tahun yang kira-kira 100 guru. Akan dikemanakan mereka? Bisa jadi, seperti pengalaman di beberapa fakultas, akhirnya programnya tidak diminati lagi karena tergelincir menjadi pencetak pengangguran. Bisa-bisa kita menyiapkan kuburan massal. Semoga tidak. Lalu siapa yang diuntungkan?
Saya pernah mengajar di program mandiri. Oleh program studi dibayar Rp.50 ribu (2 SKS), dipotong pajak tinggal Rp.42.500,00. Uang transportasi Rp.20.000,00. Salary Rp.62.500. Artinya, saya berkontribusi, bensin mobil Rp.100 ribu Banjarbaru-Banjarmasin. Padahal, uang pangkalnya saja Rp.3 juta, SPP Rp.1.150 ribu. Tidak ada PT di Kalimantan Selatan yang uang pangkal dan SPP sebesar itu.
Perlu dipahami, PT swasta membangun kantor, menggaji dosen, dan atau baya operasional lainnya dari SPP. Lalu, siapa yang sejahtera? Entahlah. Sampai hari in, saya tidak pernah tahu berapa pendapatan rill FKIP dari proyek maha besar tersebut, dan untuk apa digunakan.
Saya ingin menambahkan, prinsip transparansi —sekalipun selama belajar kurikulum tidak dinyatakan ekplisit— harap pula dijadikan hal mendasar. Tanpa transparansi pelaksanakan kurikulum tidak akan pernah maksimal. Dan, transparansi itu sangat mudah. Kecuali ada pertimbangan lain.
Sekadar Pemantik
Para Semilokawan yang terhormat. Senganya paparan ini dibuat dengan sangat sederhana berbasis bahasa sederhana pula, bukan bahasa ilmiah, agar lebih merangsang pemahaman. Paparan bukan dimaksudkan untuk ‘menggurui’, tetapi tidak lain tidak bukan sebagai pemantik, dan karena itu dilengkapi illustrasi untuk mengingatkan kita semua, perubahan atau inovasi kurikulum sebaiknya berlandaskan asas-asas dan prinsip-prinsip kurikulum.
Kurikulum memerlukan perubahan, setidaknya perbaikan dalam rangka menjangkau tujuang kurikulum, dan itu tidak dapat dilakukan tanpa evaluasi. Himbauan bawaannya, sebagai ilmuwan kependidikan, jangan terjerembab merubah atau memperbaiki kurikulum karena sebab-sebab lain.
Karena itu pula, kalau ada yang kurang berkenan, mohonlah dipahami. Menurut pebijak, illustrasi dan atau contoh yang baik adalah apa yang berlaku di sekitar kita, sekalipun terkadang bisa dirasakan getir. Ibarat kata, kita jangan hanya berani mendemo Amerka Serikat atau Israil, yang karena jauh dari jangkauan, tidak berisiko.
Menelaah apa yang terjadi di sekitar, apalagi dalam diri, akan langsung menjadi umpan balik bagi perbaikan. Perbaikan itu yang kita panah, bukan berdebat soal ini yang baik itu yang jelek. Pekerjaan kita, apabila sudah dimulai, tidak bijak dibuang begitu saja, tetapi prinsip penyempurnaan lebih bijak dipakai.
Di tangan Ibu dan bapak, sebagai birokrat kampus, sudah ada ‘kurikulum’ yang dibangun sedemikian dengan memakan waktu panjang. Tidak ada satu anjuran pada paparan ini memporakporandakannya, tetapi alangkah baiknya, ke depan, banyak hal perlu diperhatikan bagi perbaikan kurikulum. Hal-hal paling esesial secara tersurat dan tersirat telah termuat dalam paparan ini.
sumber : Ersis Warmansyah Abbas Magister Pengembangan Kurikulum