tag:blogger.com,1999:blog-22317521892195616722024-03-08T16:47:44.341-08:00Makalah Inovasi Pendidikanlong life educationhttp://www.blogger.com/profile/10326425450254066254noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-2231752189219561672.post-60489442050976402682009-05-25T09:36:00.001-07:002009-05-25T09:37:16.763-07:00Inovasi KurikulumSETIAP ganti menteri (pendidikan) kurikulum berganti. Keluhan sedemikian disuarakan berbagai pihak sebagai ungkapan kesal terhadap kebijakan pembaharuan (inovasi) kurikulum. Kalau disuarakan oleh mereka yang tidak paham pendidikan, wajar saja. Tapi, dari sudut pandang ahli kurikulum, kurikulum harus dirubah, minimal diperbaharui atau diperbaiki.<br /> <br />Kenapa kurikulum dirubah atau kenapa pembaharuan (perbaikan) kurikulum dilakukan? Ya, karena kurikulum adaah ‘landas pacu’ pencapaian tujuan pendidikan. Kalau suatu sistem pendidikan —katakanlah tingkat SMTA— ‘menghasilkan’ lulusan yang tidak mampu menjadikan peserta didik cakap berbahasa Inggris atau matematika, pasti ada something wrong pada implementasi kurikulum.<br /> <br />Bisa jadi, karena gurunya ketika dididik di LPTK, tidak mencapai kompetensi yang seharusnya, dan atau, bisa pula kerena gurunya guru (dosen) tidak kompeten mendidik calon guru. Dalam kajian kurikulum, tentu tidak dibenarkan hanya berdasarkan asumsi. Karena itu, ada bagian sangat esensial setelah tujuan, bahan, metode— yaitu evaluasi. Artinya, inovasi atau perubahan wajib berdasarkan evaluasi suatu kurikulum setelah diimplementasikan.<br /> <br />Dengan kata lain, adalah kekeliruan besar manakala perubahan kurikulum hanya dilakukan berdasarkan ‘selera’ atau ‘mimpi’ segelintir orang yang tidak paham esensi kurikulum. Dan, (maaf) dalam banyak kasus justeru hal tersebut yang dilakukan sehingga muncul sarkisme atau satire seperti yang disajikan pada introdusir tulisan ini; ganti menteri ganti kurikulum, ganti dekan ganti kurikulum.<br />Perubahan dan Pembaharuan Kurikulum<br /> <br />Perubahan kurikulum merujuk kepada perubahan dasar-dasarnya; tujuan, bahannya, metode mencapai tujuan, dan sistem evaluasi. Misalnya, tujuan pendidikan FKIP Unlam yang semula berbasis pendidikan guru dirubah menjadi lembaga pendidikan keilmuan. Karena itu —kita ambil satu bagian kecil— bahan-bahan ajarnya menjadi ‘Metode Penelitian Sejarah’ (Metode Sejarah), bukan lagi Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Kenapa? Karena esensi pendidikan sejarah —pada FKIP— bertukar rupa menjadi keilmuan sejarah. Pengajaran biologi bukan lagi agar, bagaimana calon guru mampu mengajarkan biologi, tetapi … penelitian (murni) biologi. Hal ini mengacu kepada hal dasarnya, hal esensial.<br /> <br />Pembaharuan, atau lazim juga dipakai istilah perbaikan, dan atau, inovasi kurikulum merujuk kepada perbaikan satu atau beberapa aspek. Misalnya, mengenai metode mengajar atau alat peraga sedangkan tujuan tidak berubah. Inovasi lebih kepada membaguskan praktik kurikulum dalam mencapai tujuan pendidikan.<br /> <br />Sekali lagi, baik perubahan atau perbaikan kurikulum berdasarkan evaluasi kurikulum yang tengah diberlakukan. Kalau aspek evalusi ditinggalkan, maka perubahan demikian ibarat perubahan yang dilakukan oleh penjual bakso, dilakukan berdasarkan seleranya. Sangat tidak akademikal dan jauh dari nyawa saintifik.<br />Asas Kurikulum<br /> <br />Perubahan dan pembaharuan kurikulum, haruslah pula dilihat dari asasnya. Ketika filsafat dan tujuan pendidikan berubah, sistem pendidikan menuntut perubahan atau pembaharuan. <br /> <br />Ketika kita menganut filsafat pendidikan Pancasila berbasis ‘demokrasi terpimpin’ dimana sistem yang dibangun berdasarkan sentralistik, kemudian berubah dengan alam reformasi dimana sistem pendidikan dibangun berdasarkan desentralisasi, maka tidak dapat tidak, perubahan atau perbaikan dilakukan di segala level dan jenjang.<br /> <br />Pada contoh yang tegas, filsafat pendidikan Islam berbeda dengan filsafat pendidikan Kristen, seperti juga filsafat pendidikan liberal sangat berbeda dengan pendidikan Pancasila. Ketika kita di jaman reformasi, kurikulum yang dikeluarkan Jakarta, tidak masanya lagi ‘ditelan’ begitu saja. Sebab, ada asas penyerta yang sangat penting, ada kondisi obyektif daerah yang nuansanya tidak sama dengan ‘pusat’. Adalah konyol kalau hanya menelan ‘umpan’ Jakarta tanpa kemampuan berdasarkan kondisi obyek setempat.<br /> <br />Asas psikologis, mencakup psikologi belajar dan psikologi anak (peserta didik) apabila mengalami perubahan (kemajuan) juga menuntut perubahan dan pemaharuan kurikulum. Mendidik dengan pemahaman ‘teacher centered’ sudah tidak masanya lagi, sudah ketinggalan zaman.<br /> <br />Pendidikan moderen bukan lagi berprinsip, guru adalah ceret yang menuangkan air (ilmu) ke gelas (murid), sebab teorinya berbasis, setiap anak dapat belajar apabila guru mampu memfasilitasi dan atau memotivasi (student centered). Dalam katup ini, peran guru bergeser. Manakala masih ada guru (dosen) masih merasa jago dengan ilmunya yang harus dituangkan kepada murid yang kosong (tabularasa), berarti ini pampangan kekonyolan abad moderen.<br /> <br />Asas sosiologis mengarah kepada pandangan masyarakat atau kondisi obyektif tuntutan masyarakat. Bahkan, hal ini perlu dicatat, bagi perancang kurikulum yang cerdas, anak yang dididik saat ini dipersiapkan untuk hidup lima, sepuluh, atau puluhan tahun ke depan. Adalah sesuatu yang tidak bisa diampuni, bahkan menjerumuskan anak didik ke kolam kejahiliyahan, manakala heregene masih ada guru (dosen) yang meminta muridnya menuliskan bahan ajar di papan tulis untuk disalin murid lainnya.<br /> <br />Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang mampu menjawab proyeksi pendidikan ke depan, yaitu kehidupan masyarakat yang kompetitif berbasis kompetensi kehidupan. Bukan murid pembeo yang hanya bisa menyalin apa yang dipunyai guru, tetapi pendidikan yang memungkinkan peserta didik berinovasi dalam menjalani kehidupan kelak. Muncul paradigma life-skill, kontekstual (untuk zamannya), dan segala macamnya.<br /> <br />Pada era ekplosi ilmu dan teknologi seperti saat ini, jelas menuntut perubahan atau pembaharuan pendidikan di segala jenjang dan level dan pada setiap pilahan kurikulum. Tuntutannya, guru (dosen) menguasai mindah teknologi dan pemanfaatan teknologi untuk kepentingan pendidikan.<br /> <br />Coba bayangkan. Lima atau sepuluh tahun ke depan dapat dipastikan kehidupan berbasis teknologi. Tuntutannya sistem pendidikan harus dapat menjawab tantangan tersebut. Di pusat-pusat pemikiran pendidikan dikembangkan apa yang disebut e-learning, electronic learning. Pertanyaannya: Sudahkah sistem pendidikan atau kurikulum dibangun mengacu secara proyektif ke arah hal tersebut?<br /> <br />Sudahkah dosen-dosen dibekali dengan kemampuan e-learning? Jangan-jangan masih ada dosen yang doyan mesin tik atau ‘cakar ayam’. Sebagai lembaga pendidikan yang berVisi-Misinya sebagai LPTK yang menyiapkan mahasiswanya mempunyai kemampuan memanfaatkan teknologi, sudahah menyiapkan perangkat teknologi? Kemampuan merancang pendidikan berdasarkan teknologi? Berapa sih dipersiapkan komputer untuk 6.000 mahasiswa? Apakah rasionya rasional? Entahlah.<br /> <br />Kalau tidak berdasarkan evaluasi berdasarkan hal-hal tersebut, perubahan atau inovasi kurikulum akan terjerembab menjadi dongeng. Tuntutannya, bagaimana baseline, bagaimana rancangan program, dan ketersediaan dana.<br /><br />Relevansi Kurikulum<br />Dalam membangun kurikulum, apalagi dalam perubahan atau perbaikan, relevansi menjadi hal utama. Seorang mahasiswa meneliti Relevansi Program Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin dengan Kurikulum Sekolah Menengah Tingkat Pertama untuk skripsinya. Kesimpulannya?<br /> <br />Tidak relevan. Saya gembira, ada mahasiswa yang begitu tajam, obyektif, dan saintifik meneliti relevansi kurikulum. Sementara, dosen-dosennya yang sarjana, magister, dan doktor, gagah berani menerapkan kurikulum yang tidak relevan tersebut. Di SMTP mata pelajarannya IPS, PSP Sejarah mendidik mahasiswanya berbasis mata pelajaran sejarah.<br /> <br />Kesimpulan lanjutnya tidak kalah cerdasnya … kurangnya informasi yang jelas dan sistematis mengenai penerapan kurikulum baru di sekolah dari pihak LPTK menyebabkan mahasiswa (calon guru) bingung, tergagap, dan kurang siap ketika dihadapkan kepada sesuatu yang baru di lapangan. Apa yang mereka pelajari di bangku kuliah sangat berbeda dengan apa yang terjadi di sekolah …<br /> <br />Ranah ini adalah ranah relevansi ke luar. Relevansi ke luar bermakna, tujuan, isi, PBM, dan evaluasi relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Kalau pengembang dan pelaksana kurikulum lebih cerdas, mereka akan paham, kurikulum bukan hanya menyiapkan peserta didik untuk saat ini, tetapi juga masa datang.<br /> <br />Relevansi ke dalam berarti ada keseuaian antara komponen tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Kalau relevansi ke (di) dalam tidak beres, relevansi ke luar dengan sendirinya tidak akan tercapai. Jadi, relevansi kurikulum adalah roh tujuan kurikulum.<br /> <br />Prinsip fleksibilitas adalah tuntutan berikutnya. Suatu kali saya bertanya kepada seorang teman yang melaksanakan program alih tahun (PAT). Atas dasar apa Sampeyan ‘berani’ mengajar di PAT? Menolong mahasiswa, jawabnya. Saya setuju dengan hal tersebut karena memang bagian implementasi fkesibilitas kurikulum.<br /> <br />Kurikulum harus mampu ‘menyambut’ keberbedaan peserta didik. Ada yang ‘cepat’ ada yang ‘lambat’ sementara rancangan berawal dari rata-rata pada kurva normal. Mahasiswa cerdas, dengan PAT ‘kecerdasannya’ terakomodasi hingga tidak dirugikan. Seuatu yang sangat bagus. Begitu pula yang lamban, dimana pelaksanaan kurikulum jangan ‘membunuh’ peserta didik yang agak ‘lambat’. Tetapi, ketika PAT bisa diambil oleh siapa saja, dan mata kuliah apa saja, terjadilah ‘pembantaian’ asas fleksibilitas.<br /> <br />Kalau terus berlanjut, ada implikasi teoritikal dan praktikal. Berlakukan PAT untuk semua peserta didik dan semua mata pelajaran. Kuliah cukup dalam sebulan. Insya Allah, dalam setahun mampu melahirkan sarjana handal. Dan, akan menjadi penemuan spektakuler di dunia pendidikan.<br /> <br />Prinsdip kontinuitas diapungkan dengan maksud proses pendidikan berkesinambungan. Hal ini tidak perlu diberi illustrasi karena sudah jelas dengan sendiri. Prinsip berikutnya, hendaknya kurikulum mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana, dan kalau perlu biayanya semurah mungkin. Kurikulum harus praktis, atau kata lainnya efisien. Efisiensi, terutama di negara yang kikir terhadap pendidikan ini, merupakan hal yang wajib hukumnya.<br /> <br />Menurut pemahaman saya, FKIP Unlam sangat-sangat efisien. Saking efisiennya, dosen saja tidak mempunyai meja dan kursi sendiri untuk menunjang pekerjaan profesionalnya. Karena beberapa tahun terakhir sering diundang organisasi intra dan ekstra mahasiswa sebagai nara sumber Manajemen dan Penulisan di lingkungan fakultas-fakultas Unlam Banjarbaru, saya jadi cemburu, sarana dan prasarana, dan peralatan pendidikan mereka lebih memadai, fasilitasnya jauh lebih bagus. Mungkin, mereka lebih sadar, kita lebih efisien. Padahal, mereka bukan orang-orang berbasik ilmu pendidikan. Soal pilihan saja kiranya.<br /> <br />Prinsip efektivitas dalam mendayung keberhasilan, kualitas dan kuantitas, tidak dapat dilepaskan, dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan, yang merupakan bagian dari penjabaran kebijaksanaan-kebijaksanan pemerintah dalam bidang pendidikan. Ini adalah pegangan pengembang kurikulum.<br /> <br />Dalam illustrasi sederhananya begini. Pemerintah (daerah) misalnya membutuhkan guru Bahasa Indonesia 50 dalam setahun. Itu berdasarkan pembambahan sekolah 50 setiap tahun atau 50 guru pensiun. Hingga kebutuhan terpenuhi. Kewajiban LPTK memenuhi kebutuhan pemerintah.<br /> <br />Seorang teman tidak habis pikir, kenapa PSP Bahasa Indonesia, sebagaiman saja di PSP Sejarah, berbingungria dengan saya mendiskusikannya, kenapa kita tega-teganya menggarap proyek mahasiswa mandiri? Jujur saja, kami tidak mampu memahaminya.<br /> <br />Sebab, secara proyektif dalam lima tahun ke depan akan ada penumpukan dari 500 ‘produksi’ sebanyak 400 guru dikurangi daya serap per tahun yang kira-kira 100 guru. Akan dikemanakan mereka? Bisa jadi, seperti pengalaman di beberapa fakultas, akhirnya programnya tidak diminati lagi karena tergelincir menjadi pencetak pengangguran. Bisa-bisa kita menyiapkan kuburan massal. Semoga tidak. Lalu siapa yang diuntungkan?<br /> <br />Saya pernah mengajar di program mandiri. Oleh program studi dibayar Rp.50 ribu (2 SKS), dipotong pajak tinggal Rp.42.500,00. Uang transportasi Rp.20.000,00. Salary Rp.62.500. Artinya, saya berkontribusi, bensin mobil Rp.100 ribu Banjarbaru-Banjarmasin. Padahal, uang pangkalnya saja Rp.3 juta, SPP Rp.1.150 ribu. Tidak ada PT di Kalimantan Selatan yang uang pangkal dan SPP sebesar itu.<br /> <br />Perlu dipahami, PT swasta membangun kantor, menggaji dosen, dan atau baya operasional lainnya dari SPP. Lalu, siapa yang sejahtera? Entahlah. Sampai hari in, saya tidak pernah tahu berapa pendapatan rill FKIP dari proyek maha besar tersebut, dan untuk apa digunakan.<br /> <br />Saya ingin menambahkan, prinsip transparansi —sekalipun selama belajar kurikulum tidak dinyatakan ekplisit— harap pula dijadikan hal mendasar. Tanpa transparansi pelaksanakan kurikulum tidak akan pernah maksimal. Dan, transparansi itu sangat mudah. Kecuali ada pertimbangan lain.<br /><br />Sekadar Pemantik<br />Para Semilokawan yang terhormat. Senganya paparan ini dibuat dengan sangat sederhana berbasis bahasa sederhana pula, bukan bahasa ilmiah, agar lebih merangsang pemahaman. Paparan bukan dimaksudkan untuk ‘menggurui’, tetapi tidak lain tidak bukan sebagai pemantik, dan karena itu dilengkapi illustrasi untuk mengingatkan kita semua, perubahan atau inovasi kurikulum sebaiknya berlandaskan asas-asas dan prinsip-prinsip kurikulum.<br /> <br />Kurikulum memerlukan perubahan, setidaknya perbaikan dalam rangka menjangkau tujuang kurikulum, dan itu tidak dapat dilakukan tanpa evaluasi. Himbauan bawaannya, sebagai ilmuwan kependidikan, jangan terjerembab merubah atau memperbaiki kurikulum karena sebab-sebab lain.<br /> <br />Karena itu pula, kalau ada yang kurang berkenan, mohonlah dipahami. Menurut pebijak, illustrasi dan atau contoh yang baik adalah apa yang berlaku di sekitar kita, sekalipun terkadang bisa dirasakan getir. Ibarat kata, kita jangan hanya berani mendemo Amerka Serikat atau Israil, yang karena jauh dari jangkauan, tidak berisiko.<br /> <br />Menelaah apa yang terjadi di sekitar, apalagi dalam diri, akan langsung menjadi umpan balik bagi perbaikan. Perbaikan itu yang kita panah, bukan berdebat soal ini yang baik itu yang jelek. Pekerjaan kita, apabila sudah dimulai, tidak bijak dibuang begitu saja, tetapi prinsip penyempurnaan lebih bijak dipakai.<br /> <br />Di tangan Ibu dan bapak, sebagai birokrat kampus, sudah ada ‘kurikulum’ yang dibangun sedemikian dengan memakan waktu panjang. Tidak ada satu anjuran pada paparan ini memporakporandakannya, tetapi alangkah baiknya, ke depan, banyak hal perlu diperhatikan bagi perbaikan kurikulum. Hal-hal paling esesial secara tersurat dan tersirat telah termuat dalam paparan ini.<br /><br />sumber : Ersis Warmansyah Abbas Magister Pengembangan Kurikulumlong life educationhttp://www.blogger.com/profile/10326425450254066254noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2231752189219561672.post-33749691059457102002009-05-25T09:32:00.000-07:002009-05-25T09:33:15.707-07:00Sebuah Tinjauan Teoritis Tentang Inovasi Pendidikan di IndonesiaAbstraksi<br /><br />Inovasi pendidikan menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dari<br />masa ke masa. Isu ini selalu juga muncul tatkala orang membicarakan<br />tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam inovasi<br />pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah model inovasi yang<br />baru yaitu: Pertama "top-down model" yaitu inovasi pendidikan yang<br />diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan<br />kepada bawahan; seperti halnya inovasi pendidikan yang dilakukan oleh<br />Departemen Pendidikan Nasinal selama ini. Kedua "bottom-up model"<br />yaitu model ionovasi yang bersumber dan hasil ciptaan dari bawah dan<br />dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu<br />pendidikan.<br /><br />Disamping kedua model yang umum tersebut di atas, ada hal lain yang<br />muncul tatkala membicarakan inovasi pendidikan yaitu: a).<br />kendala-kendala, termasuk resistensi dari pihak pelaksana inovasi<br />seperti guru, siswa, masyarakat dan sebagainya, b). faktor-faktor<br />seperti guru, siswa, kurikulum, fasilitas dan dana c). lingkup sosial<br />masyarakat.<br /><br />1. Pendahuluan<br /><br />Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada<br />istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu<br />yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah<br />penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan<br />demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru<br />dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam<br />kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan<br />yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati<br />sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang<br />(masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau<br />discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk<br />memecahkan masalah (Subandiyah 1992:80)<br /><br />Proses dan tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan masalah<br />pengembangan (development), penyebaran (diffusion), diseminasi<br />(dissemination), perencanaan (planning), adopsi (adoption), penerapan<br />(implementation) dan evaluasi (evaluation) (Subandiyah 1992:77)<br /><br />2. Perubahan dan Inovasi Pendidikan<br /><br />Pelaksanaaan inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum tidak dapat<br />dipisahkan dari inovator dan pelaksana inovasi itu sendiri. Inovasi<br />pendidikan seperti yang dilakukan di Depdiknas yang disponsori oleh<br />lembaga-lembaga asing cenderung merupakan "Top-Down Inovation".<br />Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk<br />meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk<br />memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan<br />efisiensi dan sebaginya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan<br />kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan<br />memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan<br />bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak<br />pelaksanaannya.<br /><br />Banyak contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas selama beberpa<br />dekade terakhir ini, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru<br />Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Guru Pamong, Sekolah kecil,<br />Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar jarak jauh dan lain-lain.<br />Namun inovasi yang diciptakan oleh Depdiknas bekerjasama dengan<br />lembaga-lembaga asing seperti British Council. USAID dan lain-lain<br />banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam begitu saja.<br />Model inovasi yang demikian hanya berjalan dengan baik pada waktu<br />berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu,<br />pada saat diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak<br />mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu<br />sendiri (di sekolah), tapi juga para pemerhati dan administrator di<br />Kanwil dan Kandep. Model inovasi seperti yang diuraikan di atas,<br />lazimnya disebut dengan model 'Top-Down Innovation". Model itu<br />kebalikan dari model inovasi yang diciptakan berdasrkan ide, pikiran,<br />kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat yang umumnya<br />disebut model "Bottom-Up Innovation"<br /><br />Ada inovasi yang juga dilakukan oleh guru-guru, yang disebut dengan<br />"Bottom-Up Innovation". Model yang kedua ini jarang dilakukan di<br />Indonesia selama ini karena sitem pendidikan yang sentralistis.<br /><br />Pembahasan tentang model inovasi seperti model "Top-Down" dan<br />"Bottom-Up" telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan para ahli<br />pendidikan. Sudah banyak pembahasan tentang inovasi pendidikan yang<br />dilakukan misalnya perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar.<br />White (1988: 136-156) misalnya menguraikan beberapa aspek yang<br />bekaitan dengan inovasi seperti tahapan-tahapan dalam inovasi,<br />karakteristik inovasi, manajemen inovasi dan sistem pendekatannya.<br /><br />Kennedy (1987:163) juga membicarakan tentang strategi inovasi yang<br />dikutip dari Chin dan Benne (1970) menyarankan tiga jenis strategi<br />inovasi, yaitu: Power Coercive (strategi pemaksaan), Rational<br />Empirical (empirik rasional), dan Normative-Re-Educative (Pendidikan<br />yang berulang secara normatif).<br /><br />Strategi inovasi yang pertama adalah strategi pemaksaaan berdasarkan<br />kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentangan dengan<br />kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan<br />kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan<br />keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan<br />dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya<br />dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan<br />pikiran-pikiran dari pencipta inovasinya. Pihak pelaksana yang<br />sebenarnya merupakan obyek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali<br />tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.<br />Para inovator hanya menganggap pelaksana sebagai obyek semata dan<br />bukan sebagai subyek yang juga harus diperhatikan dan dilibatkan<br />secara aktif dalam proses perencanaan dan pengimplementasiannya.<br /><br />Strategi inovasi yang kedua adalah empirik Rasional. Asumsi dasar<br />dalam strategi ini adalah bahwa manusia mampu menggunakan pikiran<br />logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional.<br />Dalam kaitan dengan ini inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya<br />dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat<br />bagi penggunanya. Di samping itu, startegi ini didasarkan atas<br />pandangan yang optimistik seperti apa yang dikatakan oleh Bennis,<br />Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk (1991).<br /><br />Di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang<br />menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, berkaitan dengan situasi dan<br />kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di berbagai<br />bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi untuk<br />bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman<br />dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbualan-bulan bahkan<br />bertahun-tahun. Inovasi yang demikian memberi dampak yang lebih baik<br />dari pada model inovasi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh<br />kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi<br />tersebut.<br /><br />Jenis strategi inovasi yang ketiga adalah normatif re-edukatif<br />(pendidikan yang berulang) adalah suatu strategi inovasi yang<br />didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud,<br />John Dewey, Kurt Lewis dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya (1991),<br />yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaharuan<br />seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan<br />dengan manusia.<br /><br />Dalam pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman<br />pelaksana dan penerima inovasi, maka pelaksanaan inovasi dapat<br />dilakukan berulang kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem<br />belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi<br />berulang kali melaksanakan perubahan-perubahan itu sesuai dengan<br />kaidah-kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model yang<br />demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan<br />dengan hasil dari perubahan itu sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan<br />lebih mendapat porsi yang dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran<br />dan rasionalitas yang dilakukan berkali-kali agar semua tujuan yang<br />sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat<br />tercapai. Para ahli mengungkapkan berbagai persepsi, pengertian,<br />interpretasi tentang inovasi seperti Kennedy (1987), White (1987),<br />Kouraogo (1987) memberikan berbagai macan definisi tentang inovasi<br />yang berbeda-beda. Dalam hal ini, penulis mengutip definisi inovasi<br />yang dikatakan oleh White (1987:211) yang berbunyi: "Inovation<br />......more than change, although all innovations involve change." (<br />inovasi itu ... lebih dari sekedar perubahan, walaupun semua inovasi<br />melibatkan perubahan).<br /><br />Untuk mengetahui dengan jelas perbedaan antara inovasi dengan<br />perubahan, mari kita lihat definisi yang diungkapkan oleh Nichols<br />(1983:4).<br /><br />"Change refers to " continuous reapraisal and improvement of existing<br />practice which can be regarded as part of the normal activity .....<br />while innovation refers to .... Idea, subject or practice as new by an<br />individual or individuals, which is intended to bring about<br />improvement in relation to desired objectives, which is fundamental in<br />nature and which is planned and deliberate."<br /><br />Nichols menekankan perbedaan antara perubahan (change) dan inovasi<br />(innovation) sebagaimana dikatakannya di atas, bahwa perubahan mengacu<br />kepada kelangsungan penilaian, penafsiran dan pengharapan kembali<br />dalam perbaikan pelaksanaan pendidikan yang ada yang diangap sebagai<br />bagian aktivitas yang biasa. Sedangkan inovasi menurutnya adalah<br />mengacu kepada ide, obyek atau praktek sesuatu yang baru oleh<br />seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud untuk memperbaiki<br />tujuan yang diharapkan.<br /><br />Setelah membahas definisi inovasi dan perbedaan antara inovasi dan<br />perubahan, maka berikut ini akan diuraikan tentang kendala yang<br />mempengaruhi pelaksanaan inovasi pendidikan.<br /><br />3. Kendala-kendala Dalam Inovasi Pendidikan<br /><br />Kendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi<br />pendidikan seperti inovasi kurikulum antara lain adalah (1) perkiraan<br />yang tidak tepat terhadap inovasi (2). konflik dan motivasi yang<br />kurang sehat (3). lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga<br />mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan (4).<br />keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi (5). penolakan dari<br />sekelompok tertentu atas hasil inovasi (6) kurang adanya hubungan<br />sosial dan publikasi (Subandiyah 1992:81). Untuk menghindari<br />masalah-masalah tersebut di atas, dan agar mau berubah terutama sikap<br />dan perilaku terhadap perubahan pendidikan yang sedang dan akan<br />dikembangkan, sehinga perubahan dan pembaharuan itu diharapkan dapat<br />berhasil dengan baik, maka guru, administrator, orang tua siswa, dan<br />masyarakat umumnya harus dilibatkan<br /><br />4. Penolakan (Resistance)<br /><br />Setelah memperhatikan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan suatu<br />inovasi pendidikan, misalnya penolakan para guru tentang adanya<br />perubahan kurikulum dan metode belajar-mengajar, maka perlu kiranya<br />masalah tersebut dibahas. Namun sebelumnya, pengertian tentang<br />resisten itu perlu dijelaskan lebih dahulu. Menurut definisi dalam<br />"Cambridge International English Dictionary of English" bahwa<br />Resistance is to fight against (something or someone) to not be<br />changed by or refuse to accept (something).<br /><br />Bertdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan<br />bahwa penolakan (resistance) itu adalah melawan sesuatu atau seseorang<br />untuk tidak berubah atau diubah atau tidak mau menerima hal tersebut.<br /><br />Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat<br />diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah<br />sebagai berikut:<br />1. Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan,<br />penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide<br />baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan<br />miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu<br />dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi<br />sekolah mereka.<br />2. Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan<br />saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka<br />laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu<br />sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa<br />aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka.<br />Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap<br />mempertahankan sistem yang ada.<br />3. Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat<br />(khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan<br />kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan<br />oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa "mismatch between<br />teacher's intention and practice is important barrier to the<br />success of the innovatory program".<br />4. Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari<br />pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala<br />sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi<br />ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan<br />keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah<br />atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan<br />kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk<br />merubahnya.<br />5. Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat<br />menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum<br />tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.<br /><br />Untuk mengatasi masalah dan kendala seperti diuraikan di atas, maka<br />berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan<br />inovasi baru.<br /><br />5. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Inovasi<br /><br />Untuk menghindari penolakan seperti yang disebutkan di atas,<br />faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan<br />adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan,<br /><br />1. Guru<br /><br />Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak<br />yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan<br />kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar<br />di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa<br />siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai.<br /><br />Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain<br />adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai<br />dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan<br />siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam<br />proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan<br />tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan<br />guru itu sendiri.<br /><br />Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru<br />mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan<br />dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan<br />suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin<br />mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini<br />seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang<br />tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan,<br />tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan<br />kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi<br />pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru<br />mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai<br />teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright<br />1987)<br /><br />2. Siswa<br /><br />Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar<br />mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses<br />belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui<br />penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan<br />komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa<br />terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan,<br />walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada<br />perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan,<br />sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang<br />harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam inovasi<br />pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya,<br />karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran<br />pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena<br />itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan<br />penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak<br />saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga<br />mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.<br /><br />3. Kurikulum<br /><br />Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi<br />program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam<br />pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu<br />kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan<br />dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan<br />inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan<br />unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa<br />mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan<br />tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh<br />karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan itu hendaknya<br />sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti<br />dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari<br />kedua-duanya akan berjalan searah.<br /><br />4. Fasilitas<br /><br />Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa<br />diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar<br />mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan<br />hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan.<br />Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa<br />dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama<br />fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam<br />mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh karena itu, jika<br />dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu<br />diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan<br />sebagainya.<br /><br />5. Lingkup Sosial Masyarakat.<br /><br />Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara<br />langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak,<br />baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan.<br />Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun<br />tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan<br />dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik<br />terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa<br />melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan<br />terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau<br />dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan<br />sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam<br />melaksanakan inovasi pendidikan.<br /><br />Kata Kunci<br />: inovasi, perubahan, penolakan, kurikulum, siswa, guru, fasilitas,<br />inovator, pelaksana, masyarakat, sekolah, keterlibatan,<br />top-down-bottom-up, sosial, program, pendidikan<br /><br />6. Kesimpulan<br /><br />Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa<br />berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di<br />dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan<br />siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja<br />ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat<br />serta kelengkapan fasilitas.<br /><br />Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa<br />berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain<br />adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan<br />secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara<br />itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu<br />inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana<br />dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada<br />pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab<br />terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.<br />------------------------------------------------------------<br />Daftar Pustaka :<br /><br />Cece Wijaya, Djaja Jajuri, A. Tabrani Rusyam (1991) Upaya Pembaharuan<br />dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran. Penerbit PT. Remaja<br />Rosdakarya- Bandung 1991.<br /><br />Day, C.P. Whitaker, and D. Wren (1987) Appraisal and Professional<br />Development in the Primary Schools, Philadelphia : Open University<br />Press.<br /><br />Kennedy, C. (1987) Innovation for Change: teacher development and<br />innovation. ELT Journal 41/3<br /><br />Kouraogo, P. (1987) Curriculum Renewal and INSET in Difficult<br />circumstance. ELT Journal 41/3<br /><br />Munro. R.G. (1977) Innovation Success or Failure?. Bristol: J.W.<br />Arrowss Smith Cambride English Dictionary<br /><br />Nicholls, R. (1983) Managing Educational Innovation. London. George,<br />Allen and Unwin.<br /><br />Subandijah (1992) Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. PT Raja Grafindo<br />Persada-Yogyakarta<br /><br />White, R.V. (1988) The ELT Curriculum: Design, Innovation and<br />Management. Oxford: Blackwell.<br /><br />White, R.V. (1987) Managing Innovation. ELT. Journal 41/3<br /><br />Wright, T. (1987) Roles of Teachers and Learners. Oxford: Oxford<br />University Press.long life educationhttp://www.blogger.com/profile/10326425450254066254noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2231752189219561672.post-49794086095611943412009-05-25T09:31:00.000-07:002009-05-25T09:32:23.743-07:00PENERAPAN E- LEARNING DALAM PEMBELAJARAN SUATU LANGKAH INOVASII. Pendahuluan<br /><br />Kemajuan suatu bangsa salah satu indikatornya, dapat dilihat dari perkembangan dunia pendidikan pada bangsa tersebut. Kemajuan pendidikan juga menggambarkan tingkat tingginya kebudayaan suatu bangsa. Kemajuan sektor pendidikan akan berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan suatu bangsa, khususnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya kemajuan suatu bangsa berpengaruh yang cukup signifikan pula terhadap sektor pendidikannya.<br /><br />Sekarang bagaimana halnya dengan perkembangan kemajuan pendidikan di negara kita. Kalau kita amati secara kasustik perkembangan pendidikan di negara kita sebenarnya cukup menggembirakan, seperti telah diraihnya prestasi juara I Olympiade Fisika Internasional beberapa kali oleh putera - puteri Indonesia. Hanya saja prestasi ataupun tingkat kemajuan pendidikan di negara kita justru menggambarkan hal yang sebaliknya. Ini terungkap dari hasil penelitian yang oleh lembaga-lembaga internasional yang berkompeten mengadakan penelitian di bidang pendidikan. Bahkan kita berada jauh di bawah Malaysia, dan Singapura, dan yang sangat mengagetkan kita justru berada di bawah Vietnam.<br /><br />Terlepas dari kriteria - kriteria yang dijadikan acuan dari penelitian tersebut, yang jelas dari hasil penelitian itu, sudah menggambarkan kondisi pendidikan di negara kita saat ini. Hal ini tentunya akan menjadi pemicu bagi kita semua yang kerkecimpung dalam dunia pendidikan untuk lebih meningkatkan kinerja dan inovasi -inovasi dalam dunia pendidikan .<br /><br />Salah satu inovasi yang perlu dilakukan menurut penulis adalah model dari pelaksanaan pembelajaran. Hal ini perlu dilakukan sebab dalam kegiatan pembelajaran inilah transfer berbagai kompetensi berlangsung.<br /><br />Sesuai dengan kondisi saat ini dimana perkembangan teknologi sangat pesat, khususnya di bidang teknologi informasi. Jadi sudah merupakan keharusan untuk memanfaatkan teknologi informasi tersebut ke dalam dunia pendidikan khususnya di Sekolah Dasar.<br /><br />Artikel ini sengaja ditulis untuk memberikan masukan dan sumbang saran agar model pembelajaran di Sekolah Dasar terjadi perubahan ke arah peningkatan yang lebih signifikan dibandingkan kondisi yang ada saat ini. Menurut penulis eksistensi pembelajaran yang ada di sekolah dasar saat ini pada umumnya masih teacher sentris, dan belum memanfaatkan media pembelajaran secara optimal, khususnya belum memanfaatkan media teknologi informasi, khususnya internet.<br /><br />II. Dasar Pemikiran Strategi Penerapan E-Learning dalam Pembelajaran.<br /><br />a. Tinjauan Kondisi Pembelajaran di Sekolah Dasar Saat ini.<br /><br />E. Mulyasa, 2005 menyatakan bahwa guru, kreatif, profesional, dan menyenangkan harus memiliki berbagai konsep dan cara untuk mendongkrak kualitas pembelajaran. Langkah untuk mendongkarak kualitas pembelajaran antara lain dengan mengembangkan kecerdasan emosi, mengembangkan kreatifitas<br /><br />dalam pembelajaran, mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, membangkitkan nafsu belajar, memecahkan masalah, mendayagunakan sumber belajar, dan melibatkan masyarakat dalam pembelajaran.<br /><br />Sesuai dengan pendapat di atas ada satu hal yang menarik perhatian penulis yaitu mendayagunakan sumber belajar. Disini sesuai benar dengan harapan penulis bahwa sumber belajar untuk kegiatan pembelajaran harus lebih variatif, hal ini untuk meningkatkan kualitas dari mutu pembelajaran itu sendiri. Salah satu sumber belajar yang sangat sedikit disentuh adalah sumber belajar yang memanfaatkan media elektronika atau komputer. Hal ini tidak terlepas dari minimnya penguasaan guru-guru di Sekolah Dasar terhadap media ini, disebabkan pula kerena adanya beberapa sekolah di tanah air kita yang belum memliliki alat tersebut dengan berbagai alasan, tidak ada dana, tidak ada tenaga yang mampu mengoperasikan dan lain-lain. Sebagai akibatnya kegiatan pembelajaran berlangsung dengan memanfaatkan sumber belajar yang itu- itu saja, yaitu guru dan buku. Sebagai akibat dari kondisi ini siswa akan belajar dengan situasi yang monoton dari hari ke hari.<br /><br />Dan sudah umum yang terjadi di lapangan saat ini yaitu bahwa pembelajaran terjadi dengan dominansi dari guru. Artinya pembelajaran berlangsung dengan peranan guru yang sangat dominan, dan umumnya metode yang sering digunakan adalah metode ceramah. Dengan kondisi seperti ini pembelajaran berlangsung secara teacher centrys.<br /><br />b. Kondisi Pembelajaran yang Berkualitas<br /><br />Istilah pembelajaran sendiri, mengacu pada segala daya dan upaya yang sengaja dikondisikan untuk terjadinya proses belajar pada diri siswa. Sedangkan istilah belajar sendiri memeliki pengertian, suatu proses fisik dan psikis pada diri siswa. Dimana seseorang yang menagalami peristiwa belajar akan berbeda keadaannya dengan kondisi sebelum dia mengalami belajar, seperti dia akan semakin memiliki banyak pengetahuan ( kognitif ), memiliki sikap yang semakin dewasa ( afektif ), dan memiki beberapa keterampilan gerak, yang juga semakin bertambah ( psikomotor ).<br /><br />Oemar Hamalik, 2001 menyatakan bahwa Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Di dalam interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman belajar. Sedangkan William Burton, mengemukakan bahwa A good learning situation consist of a rich and varied series of learning experiences unified around a vigorrous purpose and carried on in interaction with a rich, varied and propocative environment.<br /><br />Sudjana, 1991 menyatakan bahwa kondisi pembelajaran yang berkualitas dipengaruhi oleh faktor-faktor : Tujuan pengajaran yang jelas, bahan pengajaran yang memadahi, metodelogi pengajaran yang tepat, dan cara penilaian yang baik. Bahan pengajaran adalah seperangkat materi keilmuan yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, generalisasi suatu ilmu pengetahuan yang bersumber dari kurikulum. Saat ini hal-hal tersebut akan merupakan suatu kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa.<br /><br />Di dalam metodelogi pengajaran ada dua aspek yang paling menunjol yaitu metode mengajar dan media pengajaran, sebagai alat bantu mengajar, dimana media pengajaran ini merupakan salah satu lingkungan belajar yang dikonsikan oleh guru.<br /><br />Salah satu ciri dari pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas adalah dimanfaatkannya media pembelajaran, dalam proses pembelajaran. Di zaman yang serba canggih seperti kondisi saat ini dimana teknologi berkembang sedemikian pesatnya, komputer sudah bukan merupakan barang yang langka dan mewah. Dengan adanya media komputer sebagai pengolah informasi sudah selayaknyalah apabila di tiap- tiap sekolah dasar minimal memiliki satu unit komputer. Baik komputer sebagai sarana pengolah administrsi sekolah, dan akan lebih baik lagi apabila komputer dapat berfungsi sebagai media pembelajaran bagi siswa.<br /><br />c. Tinjauan tentang E- Learning<br /><br />Istilah E - learning tergolong hal baru dan hal aktual dalam khasanah perkekembangan Ilmu pengetahuan. Istilah ini muncul seiring dengan perkembangan kemajuan dunia elektronika yang berkembang saat ini. Artinya mencari literatur yang membahas tentang e - learning ini untuk saat ini tergolong sulit.<br /><br />Dalam hal ini penulis berupaya menganalis e - learning dari susunan kata - kata e-learning itu sendiri. Istilah e-learning muncul seiring dengan dimanfaatkannya alat- alat elektronika dalam kehidupan manusia, terutama teknologi yang berbasiskan komputer sebagai alat pengolah data dan informasi. Dan terlebih lagi dengan dimanfaatkan atau munculnya internet dalam kehidupan manusia. Istilah e-learning muncul seiring dengan munculnya istilah e-e yang lain, seperti: E-Goverment ( strategi pembangunan dan pengembangan sistem pelayanan publik berbasis teknologi digital), E-Tendering, dan lain-lain.<br /><br />Istilah E-Learning sebenarnya merupakan frase yang tersusun dari dua kata yaitu kata Electronic disingkat E, dan kata Learning yang dalam bahasa Indonesia berarti pembelajaran. Dengan demikian e-learning memiliki pengertian " Pembelajaran dengan memakai atau memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi ".<br /><br />Perkembangan teknologi komonikasi saat ini semakin canggih. Kalau pada awalnaya jaringan sarana komonikasi masih memanfaatkan kabel, maka saat ini jaringan komunikasi sudah memanfaatkan gelombang elektromagnetik atau gelombang radio yang tanpa kabel. Saat ini kebanyakan orang sudah memanfaatkan informasi dengan memanfaatkan jaringan data pada komputer dengan cara mengadakan koneksi ke komputer lain, hal ini dikenal dengan istilah internet. Dengan adanya jaringan internet ini seseorang dapat mengakses data apa saja dengan melakukan browsing ke berbegai penyelia data ( server ) di berbegai belahan bumi ini. Artinya dengan adanya internet ini masalah ruang tidak menjadi halangan. Sebagai misal kita dapat mengakses data dari berbagai tempat di Amerika dengan memanfaatkan layanan Yahoo, hanya dalam hitungan detik, berbagai data berhasil kita akses.<br /><br />Data-data tersebut sebenarnya dapat kita manfaatkan sebagai materi pembelajaran ( learning ) di sekolah dasar. Tentunya dalam hal ini diperlukan suatu keterampilan khusus, yang pertama keterampilan memanfaatkan atau mengoperasikan komputer, dan yang terutama penguasaan dalam menggunakan fasilitas internet. Disini dibutuhkan guru yang terampil, yang pertama terampil mengeperasikan komputer, dan yang selanjutnya harus terampil pula memanfaatkan internet. Jika hal ini terpenuhi maka teknologi komunikasi dan informasi yang ada pada internet dapat digunakan dalam pembelajaran.<br /><br />d. Upaya Memanfaatkan E-learning untuk Meningkatkan kualitas Pembelajaran di Sekolah Dasar<br /><br />Tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi sekolah-sekolah dasar di negara kita sangat beragam. Hal ini tidak terlepas dari faktor giografis dan topografis di negara kita yang beragam pula. Ditambah pula adanya faktor kultural yang ada pada berbagai suku juga beragam.<br /><br />Terlepas dari hal diatas telah kita ketahui bersama bahwa keberadaan seperangkat komputer pada suatu sekolah sampai saat ini secara garis besar masih cukup jarang, artinya sekolah yang memiliki fasilitas komputer dengan sekolah yang belum memiliki fasilitas komputer masih banyak yang belum memiliki fasilitas komputer. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu (1) faktor dana, artinya sekolah tidak cukup dana untuk membeli seperangkat komputer, (2) faktor kemampuan penguasaan teknologi, maksudnya masih banyak guru di sekolah dasar belum mampu mengoperasikan komputer ( GAPTEK = Gagap Teknologi ), (3) Faktor lain, misalnya faktor keamanan. Sekolah yang tidak aman enggan untuk membeli komputer.<br /><br />Penulisan artikel ini mengacu pada sekolah-sekolah yang telah memiliki dan memanfaatkan komputer. Syarat sebuah komputer agar dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran yang memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, adalah komputer tersebut harus dapat dikoneksikan ke internet. Tidak semua komputer dapat dikoneksikan ke internet. Sebagai mana yang dijelaskan Mico Pardosi 2000, komputer akan dapat dikoneksikan ke internet apabila memiliki persaratan berikut:<br /><br />1) Komputer tersebut harus dilengkapi dengan modem, baik modem internal maupun modem eksternal.<br /><br />2) Komputer dengan prosessor Pentium 100 Mhz (minimal), lebih tinggi lebih baik.<br /><br />3) Memiliki jaringan telepon, atau wareless .<br /><br />4) Meng- install program Internet ( browser) ke dalam komputer, misalnya Internet Explorer.<br /><br />5) Mendaftarkan diri ke ISP ( Perusahaan Penyelia Jasa Internet) yang ada, misalnya RADNET, INDONET, MEGANET, atau TELKOMNET ).<br /><br />Fasilitas internet dapat dimanfaatkan sebagai media dalam pembelajaran atau e- learning yaitu dengan memanfaatkan menu search, yaitu:<br /><br />1) Hubungkan komputer ke ISP<br /><br />2) Setelah komputer terhubung ke ISP, klik ganda Internet Explorer,<br /><br />3) Klik menu search,<br /><br />4) Ketik web atau data yang akan dicari pada kotak yang tersedia misalnya kata" habitat " , maka kita akan kita dapatkan data -data yang berhubungan dengan habitat. Demikian pula apabila kita mengetikkan kata-kata yang lain tentu kita akan memperoleh data -data yang kita inginkan.<br /><br />Disinilah letak essensialnya internet sebagai teknologi komonikasi dan informasi yang dapat dimanfaatkan dalam dunia pembelajaran, atau E-learning.<br /><br />Dengan kecanggihan internet, apabila dapat dimanfaatkan dengan tepat, maka akan menjadi sumber belajar yang sangat lengkap, ibarat sebuah perpustakaan yang menyediakan berbagai referensi.<br /><br />III. Penutup<br /><br />Kesimpulan yang dapat diperoleh dari uraian di atas adalah:<br /><br />1) Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan dengan pemanfaatan E-learning ( Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam pembelajaran ).<br /><br />2) E- learning merupakan merupakan inovasi yang sangat tepat untuk dikembangkan di sekolah dasar saat ini sesuai dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, demikian pula dengan perkembangan informasi yang tak kalah pesatnya.<br /><br />Ada beberapa hal yang perlu penulis sarankan, agar e-learning ( Pemanfaatan Internet ), di sekolah Dasar berjalan optimal :<br /><br />1) Seharusnya tiap sekolah memiliki komputer yang dapat diakseskan ke internet ( langkah ini perlu difasilitasi oleh pemerintah ).<br /><br />2) Seluruh sekolah harus memeliki jaringan telepon.<br /><br />3) Perlu Diklat yang dapat melatih guru SD agar terampil menggunakan Komputer, seperti Diklat KKPI JARDIKNAS, salah satunya.<br /><br />4) Dan yang tak kalah pentingnya lagi sebagai langkah " Pre Sercvice Training " seorang mahasiswa calon guru SD sudah selayaknya menerima mata kuliah tentang IT<br /><br />Information teknologi dari bangku kuliah Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan.<br /><br />Penulis adalah Guru SDN Omben II Sampang, meraih gelar Magister Manajemen Pendidikan pada Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Manajemen IMNI Jakarta ( 22 April 2007 ).<br /><br />E - mail : madjury@yahoo.co.id.<br /><br />PUSTAKA ACUAN<br /><br />E Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.<br /><br />http://en.wikipedia.org/wiki/ E-learning.<br /><br />Indrajit, Richardus Eko. 2002. Electronic Goverment. Yokyakarta : Penerbit Andi.<br /><br />Mico Pardosi. 2001. Sistem Operasi Windows dan Internet Secara Cepat dan Mudah. Surabaya: Penerbit Indah.<br /><br />Oemar Hamalik. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. <br /><br />sumber : MOHAMAD JURI,S.Pd,MMPdlong life educationhttp://www.blogger.com/profile/10326425450254066254noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2231752189219561672.post-58563859962285625192009-05-25T08:52:00.000-07:002009-05-25T08:56:29.080-07:00Inovasi Pendidikan dan Upaya Percepatan Pembangunan BangsaPENDAHULUAN<br /><br /> <br /><br />Perubahan adalah suatu bentuk yang wajar terjadi, bahkan para filosof berpendapat bahwa tidak ada satupun di dunia ini yang abadi kecuali perubahan. Tampaknya perubahan ini merupakan sesuatu yang harus terjadi tetapi tidak jarang dihindari oleh manusia. Semua perubahan akan membawa resiko, tetapi strategi mempertahankan struktur suatu kurikulum tanpa perubahan akan membawa bencana dan malapetaka, sebab mengkondisikan kurikulum dalam posisi status quo menyebabkan pendidikan tertinggal dan generasi bangsa tersebut tidak dapat mengejar kemajuan yang diperoleh melalui perubahan. Dengan demikian, inovasi selalu dibutuhkan, terutama dalam bidang pendidikan, untuk mengatasi masalah-masalah yang tidak hanya terbatas masalah pendidikan tetapi juga masalah-masalah yang mempengaruhi kelancaran proses pendidikan. Rosenblum & Louis (1981 : 1) mengemukakan alasan perlunya inovasi dalam pendidikan :<br /><br />Declining enrollments, rapid changes in the existing technology and knowledge about teaching and learning processes, a continual expansion of the role of the school into new areas, and changes in the prevailing cultural preferences of both local communities and the larger society continually impel schools to inovate.<br /><br /> <br /><br />Kata inovasi seringkali dikaitkan dengan perubahan, tetapi tidak setiap perubahan dapat dikategorikan sebagai inovasi. Rogers (1983 : 11) memberikan batasan yang dimaksud dengan inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau objek benda yang dipandang baru oleh seseorang atau kelompok adopter lain. Kata "baru" bersifat sangat relatif, bisa karena seseorang baru mengetahui, atau bisa juga karena baru mau menerima meskipun sudah lama tahu. Lebih lanjut Rogers (1983 : 12-16) mengemukakan karakteristik yang dikandung oleh suatu inovasi mencakup :<br /><br />a. Adanya keunggulan relatif ; sejauh mana inovasi dianggap lebih baik dari gagasan sebelumnya. Biasanya tolok ukurnya adalah faktor ekonomi, sosial, kepuasan, dan kenyamanan.<br /><br />b. Kesesuaian ; merujuk kepada bagaimana suatu inovasi dipandang konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman yang lalu, dan sejauh mana dapat mengatasi kebutuhan calon penerima (adopter)<br /><br />c. Kompleksitas ; hal kompleksitas ini berkenaan dengan tingkat kesulitan suatu inovasi untuk dilaksanakan dibandingkan dengan kegunaannya. Apakah inovasi tersebut gagasannya sederhana atau sulit untuk dipahami, dan apakah tingkat kesulitan tersebut seimbang dengan kegunaannya.<br /><br />d. Trialabilitas ; aspek ini berkaitan dengan bagaimana tingkat ketercobaannya. Apakah inovasi tersebut mudah untuk diujicobakan.<br /><br />e. Observabilitas ; merujuk kepada bagaimana manfaat (hasil) inovasi dapat dilihat oleh masyarakat terutama masyarakat sasaran.<br /><br /> <br /><br />Berdasarkan batasan dan penjelasan Rogers tersebut, dapat dikatakan bahwa munculnya inovasi karena ada permasalahan yang harus diatasi, dan upaya mengatasi permasalahan tersebut melalui inovasi (seringkali disebut dengan istilah "pembaharuan" meskipun istilah ini tidak identik dengan inovasi). Inovasi ini harus merupakan hasil pemikiran yang original, kreatif, dan tidak konvensional. Penerapannya harus praktis di mana di dalamnya terdapat unsur-unsur kenyamanan dan kemudahan. Semua ini dimunculkan sebagai suatu upaya untuk memperbaiki situasi / keadaan yang berhadapan dengan permasalahan.<br /><br /> <br /><br />Seperti telah dikemukakan bahwa munculnya suatu inovasi adalah sebagai alternatif pemecahan masalah, maka langkah pertama pengembangan suatu inovasi didahului dengan pengenalan terhadap masalah (Rogers, 1983 ; Lehman, 1981). Identifikasi terhadap masalah inilah yang kemudian mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan (R&D) atau evaluasi kurikulum, yang dirancang untuk menciptakan suatu inovasi. Dalam hal ini perlu untuk diperhatikan bahwa inovasi akan mempunyai makna jika inovasi tersebut diterapkan atau diadopsi, sebab jika inovasi tersebut tidak diterapkan/diadopsi/disebarluaskan maka inovasi tersebut hanya akan menjadi inovasi yang tidak terpakai. Terhadap pengadopsian ini dikenal strategi sentralisasi dan strategi desentralisasi. (disebut penyebaran/difusi inovasi jika ditinjau dari sisi pengembang inovasi, sedangkan adopsi inovasi merupakan prosedur yang dilihat dari sisi calon pemakai/adopter). Baik strategi sentralisasi maupun desentralisasi akan memunculkan permasalahan baru pada saat adopsi/difusinya.<br /><br /> <br /><br />Salah satu aspek penting dalam konteks pendidikan di manapun adalah dengan memperhatikan kurikulum yang diusung oleh pendidikan tersebut. Seringkali kurikulum dijadikan objek penderita, dalam pengertian bahwa ketidakberhasilan suatu pendidikan diakibatkan terlalu seringnya kurikulum tersebut berubah. Padahal, seharusnya dipahami bahwa kurikulum seyogyanya dinamis, harus berubah mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Cuban (1991 : 216) mengemukakan bahwa untuk memahami perubahan kurikulum perlu untuk dipahami tiga pokok pemikiran tentang perubahan tersebut yakni (a) rencana perubahan itu selalu baik, (b) harus dipisahkan antara perubahan (change) dengan kemantapan (stability), dan (c) apabila rencana perubahan sudah diadopsi maka perlu untuk dilakukan perbaikan terhadap rencana tersebut (improvement).<br /><br /> <br /><br />Mengacu kepada apa yang dijelaskan di atas, maka masalah yang dikemukakan pada tulisan ini berkaitan dengan (a) aspek-aspek inovatif yang terkandung dalam KTSP, (b) tantangan dalam KTSP sebagai upaya mempercepat pembangunan bangsa, dan (c) kemungkinan permasalahan yang akan muncul pada saat kurikulum tersebut diadopsi. Diharapkan melalui tulisan akan dihasilkan gambaran bagaimana suatu proses adopsi akan berhadapan dengan sejumlah masalah yang harus diatasi. <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />ASPEK-ASPEK INOVATIF KURIKULUM 2006 (KTSP)<br /><br /> <br /><br /> KTSP yang mulai diberlakukan secara nasional pada tahun 2006 jelas berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa KTSP merupakan produk dari penjabaran Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yang bernafaskan Undang-undang Otonomi Daerah. Dua hal penting yang membedakan KTSP dengan kurikulum sebelumnya (sebagai dampak dari UU Otonomi Daerah) adalah (a) diberlakukannya kurikulum yang berdiversifikasi, dan (b) adanya standardisasi pendidikan. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang heterogen, baik dilihat dari aspek geografisnya maupun latar belakang sosial budayanya. Heterogenitas ini membawa dampak bahwa terdapat perbedaan yang cukup bermakna antara daerah dan pusat. Dengan diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah maka setiap daerah mempunyai wewenang untuk mengatur urusan dalam negerinya. Dengan demikian, pada aspek pendidikan terjadi hal yang sama. Jika pada masa berlakunya sentralisasi saja sudah menyebabkan adanya perbedaan yang bermakna antara pusat dengan daerah, maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan sistem pendidikan yang desentralisasi.<br /><br /> <br /><br />Untuk mengatasi perbedaan tersebut, maka kurikulum dikembangkan dengan mengacu kepada standar nasional, artinya meskipun tiap daerah bahkan tiap sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulumnya sesuai dengan kemampuan masing-masing, tetapi tetap harus mengacu pada standar minimal yang sifatnya nasional. Dengan demikian diharapkan bahwa kurikulum yang dikembangkan (KTSP) dapat mengadopsi kebutuhan daerah tetapi tidak melupakan aspek mutu/kualitas pendidikan secara nasional.<br /><br /> <br /><br /> Aspek-aspek inovatif yang terkandung dalam KTSP di antaranya diterapkannya pendidikan kecakapan hidup; dikembangkannya keunggulan lokal sesuai karakteristik, kebutuhan, dan tuntutan setempat; kurikulum berbasis sekolah, dalam pengertian meskipun kerangka dasar dan struktur kurikulum dikembangkan secara sentralistik, tetapi pengembangan perencanaan pembelajaran (silabus & RPP) dan kegiatan belajar mengajar dikembangkan secara desentralistik; dan disertakannya peran serta masyarakat. <br /><br /> <br /><br />Peluang dan Tantangan yang diberikan oleh KTSP<br /><br /> <br /><br /> KTSP memberikan peluang munculnya diversifikasi sekolah, sebab kurikulum yang dikembangkan dalam KTSP sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, hanya berisikan standar kompetensi/kompetensi dasar yang merupakan standar nasional; sedangkan pengembangan selanjutnya sangat ditentukan oleh kebutuhan/karakteristik sekolah atau masyarakat yang berada di sekitar sekolah. Peluang ini dapat diterjemahkan sebagai tantangan bagi pihak sekolah (penyelenggara pendidikan) dalam rangka mempercepat pembangunan bangsa. Apakah sekolah sebagai penyelenggara pendidikan akan jalan ditempat, “menunggu perintah dari atas” sebagaimana yang selama ini dikondisikan, atau pihak sekolah mengadopsi peluang itu dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsanya. Diversifikasi ini memungkinkan dikembangkannya sistem persekolahan yang berdaya saing tinggi, sebab pihak sekolah diberi kewenangan penuh untuk mengembangkan kurikulumnya sebaik dan semaju mungkin tetapi juga melihat pada kebutuhan dan kemampuan pihak penyelenggara pendidikan (sekolah). Dengan adanya kemungkinan diverisifikasi ini maka penyelenggara pendidikan tidak lagi harus seragam, sehingga diharapkan percepatan pembangunan bangsa dapat dicapai.<br /><br /> <br /><br /> Partisipasi masyarakat yakni peran komite sekolah memberi masukan dan saran tentang keunggulan lokal, menjadi poin berikutnya dalam peluang yang terkandung di KTSP. Keterlibatan pihak masyarakat, yang selama ini dipandang hanya sebagai “user” pasif, memunculkan tantangan yang lebih bermakna, sebab masuknya peran/partisipasi masyarakat akan melibatkan pemikiran-pemikiran baru tentang perlunya peningkatan kualitas yang berasal dari pihak pengguna. Masyarakat dapat mengikutsertakan dirinya untuk pengembangan dan kemajuan sekolah dengan mengedepankan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh masyarakat sekitar. Artinya pengembangan pendidikan berasal dari kebutuhan wilayah sekitar (lokal) dan membawa warna keunggulan lokal, sehingga produk pendidikan tidak lagi menjadi suatu alieansi sebab kemajuan pendidikan daerah tersebut sangat ditentukan oleh pengembangan keunggulan lokalnya.<br /><br /> <br /><br /> Peluang lain yang diberikan melalui KTSP adalah bahwa kurikulum berbasis sekolah. Hal ini mengindikasi selain kurikulum akan dikembangkan sesuai kebutuhan dan kemampuan pihak sekolah, juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa kurikulum harus dikembangkan oleh guru. Dalam hal ini guru bukan hanya sebagai pelaksana kurikulum, melainkan juga sebagai pengembang kurikulum di kelasnya. Konsekuensinya, guru dituntut untuk siap sebagai pengembang kurikulum, sehingga tidak lagi terdengar bahwa pengembangan perencanaan pembelajaran hanyalah merupakan “pekerjaan administratif belaka”. Konsekuensi lanjutan adalah perlunya pembinaan berkelanjutan yang intensif bagi pihak guru sebagai pengembang kurikulum di tingkat sekolah. Profesionalisasi menjadi suatu kebutuhan, dan guru harus terus meningkatkan dirinya untuk mempercepat pembangunan bangsa. Di tangan gurulah terletak maju atau mundurnya pendidikan kita. <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />KEMUNGKINAN PERMASALAHAN DALAM PROSES IMPLEMENTASINYA<br /><br /> <br /><br /> Penerapan KTSP telah berjalan tiga tahun, dan sampai saat ini tampaknya apa yang dilaksanakan di lapangan masih belum memenuhi tuntutan kurikulum tersebut. Tidak sedikit pengamat pendidikan yang mempertanyakan apa perbedaan antara KTSP dengan kurikulum sebelumnya, sementara di kalangan guru masih terjadi perbedaan pendapat di dalam menafsirkan tuntutan kurikulum. Guru kembali menggunakan kebiasaan mengajar seperti sebelumnya. Di lain pihak para guru merasa bahwa SK/KD tidak memberi arah dan tuntunan yang jelas (dan detail) sehingga mereka cenderung mencari “contoh silabus/RPP” yang sudah jadi dan meniru nya menjadi silabus/RPP yang akan digunakannya dalam pembelajarannya.<br /><br /> <br /><br />Hal-hal yang terjadi seperti dikemukakan di atas dapat diidentifikasi :<br /><br />a. Sudah terlalu lamanya guru menggunakan gaya mengajar yang mengacu kepada posisi guru sebagai user kurikulum (segala sesuatu telah ditetapkan dari atas sehingga guru tinggal melaksanakannya), dan terdapat kecenderungan untuk mempertahankan gaya tersebut (status quo), sedangkan KTSP mensyaratkan guru untuk menjadi curriculum developer.<br /><br />b. Kurangnya proses sosialisasi KTSP yang pada awal berlakunya kurikulum tersebut hanya dilakukan one-shot training. Bagaimana guru dapat memahami isi dan tuntutan kurikulum dengan baik jika pengenalan dilakukan hanya dalam waktu terbatas.<br /><br />Kurangnya pemahaman guru terhadap orientasi kurikulum. Dalam hal ini orientasi kurikulum (yang merupakan salah satu dari landasan kurikulum) merupakan dasar dikembangkannya bentuk kurikulum, sehingga memahami orientasi kurikulum akan memudahkan untuk memahami kurikulum secara keseluruhan. Sebagai contoh KTSP pada posisi pencapaian tujuan kurikuler berkiblat pada orientasi Transaction yang artinya siswa sebagai pusat sebab orientasi ini menganggap siswa memiliki kemampuan berinteraksi dengan lingkungan dan proses ditekankan pada proses (Seller & Miller, 1985 : 62-67) dan pengembangan aktivitas siswa merupakan tujuan antara dalam rangka mencapai tujuan kurikuler. Dengan demikian apabila guru tidak memahami orientasi kurikulum yang tersirat dalam KTSP, maka kemungkinan yang terjadi adalah guru memberikan sejumlah informasi (faktual) kepada siswa, dan pada akhirnya siswa hanya tinggal menghafal fakta-fakta yang telah diberikan oleh guru tersebut (pembelajaran satu arah dan siswa pasif - cenderung rote learning).<br /><br /> <br /><br />Tampaknya kelemahan dalam proses implementasi KTSP lebih cenderung kepada kurangnya pemahaman guru terhadap apa yang menjadi tuntutan kurikulum tersebut. Dalam hal ini masalah implementasi tersebut lebih banyak berada pada posisi kekurangan yang ada pada guru sebagai pengembang kurikulum.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />K E S I M P U L A N<br /><br /> <br /><br /> Perubahan dalam kurikulum merupakan hal yang harus dilakukan sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Kurikulum sekolah selalu mengikuti perubahan jaman, sebab jika tidak dilakukan perubahan maka pendidikan tidak dapat menghasilkan generasi berikut yang tanggap terhadap perkembangan. KTSP merupakan bentuk kurikulum baru yang sarat dengan perubahan / inovasi. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap perlunya mengantisipasi perubahan masyarakat.<br /><br /> <br /><br />Meskipun kurikulum berubah, tidak berarti otomatis akan terjadi perubahan dalam proses implementasi di lapangan. Perubahan tidak akan terjadi apabila guru sebagai pelaksana pendidikan tidak atau belum melakukan perubahan tersebut. Dalam hal ini mungkin saja terjadi pengimpangan dari apa yang diharapkan oleh kurikulum tersebut. Antisipasi terhadap penyimpangan pelaksanaan kurikulum di lapangan dapat dilakukan jika telah diketahui apa yang menjadi hambatan terhadap pelaksanaan kurikulum tersebut.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Cuban, L. (1991). Curriculum Stability and Change. Dalam Handbook of Research on Curriculum. New York : Macmillan Publishing Co.<br /><br />Hasan, S. H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan P2LPTK.<br /><br />House, E.R. (1974). The Politics of Educational Innovation. California : McCutchan Publishing Corp.<br /><br />Humphreys, T. (1993). A Different Kind of Teacher. London : Cassell<br /><br />McCormick, R. & James, M. (1983). Curriculum Evaluation in Schools. London & Canberra : Croom Helm Ltd.<br /><br />Miller, J. P. & Seller, W. (1985). Curriculum Perspectives and Practice. New York & London : Longman<br /><br />Rogers, E. M. (1983). Diffusion of Innovations. New York : The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co. Inc.<br /><br />Rosenblum, S. & Louis, K. S. (1981). Stability and Change, Innovation in an Educational Context. New York & London : Plenum Press.<br /><br /> sumber : http://hanckey.pbworks.com/Inovasi-Pendidikanlong life educationhttp://www.blogger.com/profile/10326425450254066254noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2231752189219561672.post-25226000352765481492009-05-25T08:51:00.000-07:002009-05-25T08:52:10.241-07:00Teknologi Informasi, Inovasi bagi Dunia PendidikanI. TEKNOLOGI INFORMASI DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA<br /><br />A. Dunia Pendidikan Konvensional Indonesia<br /><br />Secara umum Dunia Pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana yang publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.<br /><br />Upaya-upaya peningkatan kualitas mutu serta kuantitas yang membawa nama pendidikan telah dilakukan oleh pihak pemerintah, walau sampai saat ini kita belum melihat hasil dari usaha tersebut. Apabila kita melihat dari sudut pandang nasional atau alias yang umum-umum saja jadi marilah kita lihat apa yang dilakukan oleh pemerintah. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah biasanya bersifat konstitusional demi mendapatkan lulusan dari sekolah yang kompetitif dan siap bersaing secara global, semisalkan dengan menetapkan angka batas minimal kelulusan UAN dengan nilai sebesar 4,00 dengan tidak digabung dengan poin pada ujian praktek ditambah lagi tanpa ujian praktek. Pada hal ini bukannya kita menemukan pemerintah berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan melainkan nampak sepertinya pemerintah hendak menjegal generasi kita.<br /><br />Apabila kita amati dengan seksama, apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan pada dunia pendidikan, mungkin jauh lebih sulit dari menggantang asap. Berbagai hal dapat saja dipersalahkan sebagai pokok masalah yang menghambat kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Namun demikian, yang jelas-jelas dapat kita temukan sebagai suatu kecacatan ialah proses belajar mengajar konvensional yang mengandalkan tatap muka antara guru dan murid, dosen dengan mahasiswa, pelatih dengan peserta latihan, bagaimanapun merupakan sasaran empuk yang paling mudah menjadi sasaran bagi suara-suara kritis yang menghendaki peningkatan kualitas pada dunia pendidikan.<br /><br />Ketidakefektifan adalah kata yang paling cocok untTuk sistem ini, sebab seiring dengan perkembangan zaman, pertukaran informasi menjadi semakin cepat dan instan, namun institut yang masih menggunakan sistem tradisional ini mengajar (di jenjang sekolah tinggi kita anggap memberikan informasi) dengan sangat lambat dan tidak seiring dengan perkembangan IT. Sistem konvensional ini seharusnya sudah ditinggalkan sejak ditemukannya media komunikasi multimedia. Karena sifat Internet yang dapat dihubungi setiap saat, artinya siswa dapat memanfaatkan program-program pendidikan yang disediakan di jaringan Internet kapan saja sesuai dengan waktu luang mereka sehingga kendala ruang dan waktu yang mereka hadapi untuk mencari sumber belajar dapat teratasi. Dengan perkembangan pesat di bidang teknologi telekomunikasi, multimedia, dan informasi; mendengarkan ceramah, mencatat di atas kertas sudah tentu ketinggalan jaman.<br /><br />B. Penggunaan IT Dalam Dunia Pendidikan<br /><br />Arti IT bagi dunia pendidikan seharusnya berarti tersedianya saluran atau sarana yang dapat dipakai untuk menyiarkan program pendidikan. Namun hal Pemanfaatan IT ini di Indonesia baru memasuki tahap mempelajari berbagai kemungkinan pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan memasuki milenium ketiga ini.<br /><br />Padahal penggunaan IT ini telah bukanlah suatu wacana yang asing di negeri Paman Sam Sana. Pemanfaatan IT dalam bidang pendidikan sudah merupakan kelaziman di Amerika Serikat pada dasawarsa yang telah lalu. Ini merupakan salah satu bukti utama ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa di dunia.<br /><br />Berikut ini ialah sampel-sampel dari luar negeri hasil revolusi dari sistem pendidikan yang berhasil memanfaatkan Teknologi Informasi untuk menunjang proses pembelajaran mereka:<br /><br />1. SD River Oaks di Oaksville, Ontario, Kanada, merupakan contoh tentang apa yang bakal terjadi di sekolah. SD ini dibangun dengan visi khusus: sekolah harus bisa membuat murid memasuki era informasi instan dengan penuh keyakinan. Setiap murid di setiap kelas berkesempatan untuk berhubungan dengan seluruh jaringan komputer sekolah. CD-ROM adalah fakta tentang kehidupan. Sekolah ini bahkan tidak memiiki ensiklopedia dalam bentuk cetakan. Di seluruh perpustakaan, referensinya disimpan di dalam disket video interktif dan CD-ROM-bisa langsung diakses oleh siapa saja, dan dalam berbagai bentuk: sehingga gambar dan fakta bisa dikombinasikan sebelum dicetak;foto bisa digabungkan dengan informasi.<br /><br />2. SMU Lester B. Pearson di Kanada merupakan model lain dari era komputer ini. Sekolah ini memiliki 300 komputer untuk 1200 murid. Dan sekolah ini memiliki angka putus sekolah yang terendah di Kanada: 4% dibandingkan rata-rata nasional sebesar 30%<br /><br />3. Prestasi lebih spektakuler ditunjukkan oleh SMP Christopher Columbus di Union City, New Jersey. Di akhir 1980-an, nilai ujian sekolah ini begitu rendah, dan jumlah murid absen dan putus sekolah begitu tinggi hingga negara bagian memutuskan untuk mengambil alih. Lebih dari 99% murid berasal dari keluarga yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.<br /><br />Bell Atlantic- Sebuah perusahaan telepon di daerah itu membantu menyediakan komputer dan jaringan yang menghubungkan rumah murid dengan ruang kelas, guru, dan administrator sekolah. Semuanya dihubungkan ke Internet, dan para guru dilatih menggunakan komputer pribadi. Sebagai gantinya, para guru mengadakan kursus pelatihan akhir minggu bagi orangtua.<br /><br />Dalam tempo dua tahun, baik angka putus sekolah maupun murid absen menurun ke titik nol. Nilai ujian-standar murid meningkat hampir 3 kali lebih tinggi dari rata-rata sekolah seantero New Jersey.<br /><br />Informasi yang diwakilkan oleh komputer yang terhubung dengan internet sebagai media utamanya telah mampu memberikan kontribusi yang demikian besar bagi proses pendidikan. Teknologi interaktif ini memberikan katalis bagi terjadinya perubahan medasar terhadap peran guru: dari informasi ke transformasi. Setiap sistem sekolah harus bersifat moderat terhadap teknologi yang memampukan mereka untuk belajar dengan lebih cepat, lebih baik, dan lebih cerdas. Dan Teknologi Informasi yang menjadi kunci untuk menuju model sekolah masa depan yang lebih baik.<br /><br />Namun usaha-usaha dari anak-anak bangsa juga terus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dalam hal penyampaian proses pendidikan dengan penggunaan IT. Semisalnya, baru-baru ini Telkom, Indosat, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan kesiapannya untuk mengembangkan IT untuk pendidikan di Indonesia, dimulai dengan proyek-proyek percontohan.Telkom menyatakan akan terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas infrastruktur jaringan telekomunikasi yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung (backbone) bagi pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan serta implementasi-implementasi lainnya di Indonesia. Bahkan, saat ini Telkom mulai mengembangkan teknologi yang memanfaatkan ISDN (Integrated Sevices Digital Network) untuk memfasilitasi penyelenggaraan konferensi jarak jauh (teleconference) sebagai salah satu aplikasi pembelajaran jarak jauh.<br /><br />Banyak aspek dapat diajukan untuk dijadikan sebagai alasan-alasan untuk mendukung pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional Indonesia. Salah satu aspeknya ialah kondisi geografis Indonesia dengan sekian banyaknya pulau yang terpencar-pencar dan kontur permukaan buminya yang seringkali tidak bersahabat, biasanya diajukan untuk menjagokan pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan. IT sangat mampu dan dijagokan agar menjadi fasilitator utama untuk meratakan pendidikan di bumi Nusantara, sebab IT yang mengandalkan kemampuan pembelajaran jarak jauhnya tidak terpisah oleh ruang, jarak dan waktu. Demi penggapaian daerah-daerah yang sulit tentunya diharapkan penerapan ini agar dilakukan sesegera mungkin di Indonesia.<br /><br />IMPLIKASI IT DI DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA<br /><br />e-Education, istilah ini mungkin masih asing bagi bangsa Indonesia. e-education (Electronic Education) ialah istilah penggunaan IT di bidang Pendidikan. Internet membuka sumber informasi yang tadinya susah diakses. Akses terhadap sumber informasi bukan menjadi masalah lagi. Perpustakaan merupakan salah satu sumber informasi yang mahal harganya. (Berapa banyak perpustakaan di Indonesia, dan bagaimana kualitasnya?) Adanya Internet memungkinkan seseorang di Indonesia untuk mengakses perpustakaan di Amerika Serikat berupa Digital Library. Sudah banyak cerita tentang pertolongan Internet dalam penelitian, tugas akhir. Tukar menukar informasi atau tanya jawab dengan pakar dapat dilakukan melalui Internet. Tanpa adanya Internet banyak tugas akhir dan thesis yang mungkin membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk diselesaikan.<br /><br />A. Pemanfaatan IT Bagi Institut Pendidikan<br /><br />Pesatnya perkembangan IT, khususnya internet, memungkinkan pengembangan layanan informasi yang lebih baik dalam suatu institusi pendidikan. Dilingkungan perguruan tinggi, pemanfaatan IT lainnya yaitu diwujudkan dalam suatu sistem yang disebut electronic university (e-University). Pengembangan e-University bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga perguruan tinggi dapat menyediakan layanan informasi yang lebih baik kepada komunitasnya, baik didalam maupun diluar perguruan tinggi tersebut melalui internet. Layanan pendidikan lain yang bisa dilaksanakan melalui sarana internet yaitu dengan menyediakan materi kuliah secara online dan materi kuliah tersebut dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan.<br /><br />Lingkungan Akademis Pendidikan Indonesia yang mengenal alias sudah akrab dengan Implikasi IT di bidang Pendidikan adalah UI dan ITB. Semisalnya UI. Hampir setiap Fakultas yang terdapat di UI memiliki jaringan yang dapat di akses oleh masyarakat, memberikan informasi bahkan bagi yang sulit mendapatkannya karena problema ruang dan waktu. Hal ini juga tentunya sangat membantu bagi calon mahasiswa maupun mahasiswa atau bahkan alumni yang membutuhkan informasi tentang biaya kuliah, kurikulum, dosen pembimbing, atau banyak yang lainnya. Contoh lain adalah Universitas Swasta Bina Nusantara juga memiliki jaringan Internet yang sangat mantap, yang melayakkan mereka mendapatkan penghargaan akademi pendidikan Indonesia dengan situs terbaik. Layanan yang disediakan pada situs mereka dapat dibandingkan dengan layanan yang disediakan oleh situs-situs pendidikan luar negeri seperti Institut Pendidikan California atau Institut Pendidikan Virginia, dan sebagainya.<br /><br />Pada tingkat pendidikan SMU implikasi IT juga sudah mulai dilakukan walau belum mampu menjajal dengan implikasi-implikasinya pada tingkatan pendidikan lanjutan. Di SMU ini rata-rata penggunaan internet hanyalah sebagai fasilitas tambahan dan lagi IT belum menjadi kurikulum utama yang diajarkan untuk siswa. IT belum menjadi media database utama bagi nilai-nilai, kurikulum, siswa, guru atau yang lainnya. Namun prospek untuk masa depan, penggunaan IT di SMU cukup cerah.<br /><br />Selain untuk melayani Institut pendidikan secara khusus, adapula yang untuk dunia pendidikan secara umum di indonesia. Ada juga layanan situs internet yang menyajikan kegiatan sistem pendidikan di indonesia. situs ini dimaksudkan untuk merangkum informasi yang berhubungan dengan perkembangan pendidikan yang terjadi dan untuk menyajikan sumber umum serta jaringan komunikasi (forum) bagi administrator sekolah, para pendidik dan para peminat lainnya. Tujuan utama dari situs ini adalah sebagai wadah untuk saling berhubungan yang dapat menampung semua sektor utama pendidikan. Contoh dari situs ini adalah www.pendidikan.net<br /><br />Disamping lingkungan pendidikan, misalnya pada kegiatan penelitian kita dapat memanfaatkan internet guna mencari bahan atau pun data yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut melalui mesin pencari pada internet. Situs tersebut sangat berguna pada saat kita membutuhkan artikel, jurnal ataupun referensi yang dibutuhkan. Situs tersebut contohnya seperti google.com atau searchindonesia.com atau sumpahpalapa.net<br /><br />Inisiatif-inisiatif penggunaan IT dan Internet di luar institusi pendidikan formal tetapi masih berkaitan dengan lingkungan pendidikan di Indonesia sudah mulai bermunculan. Salah satu inisiatif yang sekarang sudah ada adalah situs penyelenggara "Komunitas Sekolah Indonesia". Situs yang menyelenggarakan kegiatan tersebut contohnya plasa.com dan smu-net.com<br /><br />B. IT Sebagai Media Pembelajaran Multimedia<br /><br />Kerjasama antar pakar dan juga dengan mahasiswa yang letaknya berjauhan secara fisik dapat dilakukan dengan lebih mudah. Dahulu, seseorang harus berkelana atau berjalan jauh menempuh ruang dan waktu untuk menemui seorang pakar untuk mendiskusikan sebuah masalah. Saat ini hal ini dapat dilakukan dari rumah dengan mengirimkan email. Makalah dan penelitian dapat dilakukan dengan saling tukar menukar data melalui Internet, via email, ataupun dengan menggunakan mekanisme file sharring dan mailing list. Bayangkan apabila seorang mahasiswa di Sulawesi dapat berdiskusi masalah teknologi komputer dengan seorang pakar di universitas terkemuka di pulau Jawa. Mahasiswa dimanapun di Indonesia dapat mengakses pakar atau dosen yang terbaik di Indonesia dan bahkan di dunia. Batasan geografis bukan menjadi masalah lagi.<br /><br />Sharing information juga sangat dibutuhkan dalam bidang penelitian agar penelitian tidak berulang (reinvent the wheel). Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat digunakan bersama-sama sehingga mempercepat proses pengembangan ilmu dan teknologi.<br /><br />Virtual university merupakan sebuah aplikasi baru bagi Internet. Virtual university memiliki karakteristik yang scalable, yaitu dapat menyediakan pendidikan yang diakses oleh orang banyak. Jika pendidikan hanya dilakukan dalam kelas biasa, berapa jumlah orang yang dapat ikut serta dalam satu kelas? Jumlah peserta mungkin hanya dapat diisi 40 - 50 orang. Virtual university dapat diakses oleh siapa saja, darimana saja. Penyedia layanan Virtual University ini adalah www.ibuteledukasi.com . Mungkin sekarang ini Virtual University layanannya belum efektif karena teknologi yang masih minim. Namun diharapkan di masa depan Virtual University ini dapat menggunakan teknologi yang lebih handal semisal Video Streaming yang dimasa mendatang akan dihadirkan oleh ISP lokal, sehingga tercipta suatu sistem belajar mengajar yang efektif yang diimpi-impikan oleh setiap ahli IT di dunia Pendidikan. Virtual School juga diharapkan untuk hadir pada jangka waktu satu dasawarsa ke depan.<br /><br />Bagi Indonesia, manfaat-manfaat yang disebutkan di atas sudah dapat menjadi alasan yang kuat untuk menjadikan Internet sebagai infrastruktur bidang pendidikan. Untuk merangkumkan manfaat Internet bagi bidang pendidikan di Indonesia:<br /><br />. Akses ke perpustakaan;<br /><br />. Akses ke pakar;<br /><br />. Melaksanakan kegiatan kuliah secara online;<br /><br />. Menyediakan layanan informasi akademik suatu institusi pendidikan;<br /><br />. Menyediakan fasilitas mesin pencari data;<br /><br />. Meyediakan fasilitas diskusi;<br /><br />. Menyediakan fasilitas direktori alumni dan sekolah;<br /><br />. Menyediakan fasilitas kerjasama;<br /><br />. Dan lain - lain.<br /><br />C. Kendala-Kendala Pengimplikasian di Indonesia<br /><br />Jika memang IT dan Internet memiliki banyak manfaat, tentunya ingin kita gunakan secepatnya. Namun ada beberapa kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin. Kesiapan pemerintah Indonesia masih patut dipertanyakan dalam hal ini.<br /><br />Salah satu penyebab utama adalah kurangnya ketersediaan sumber daya manusia, proses transformasi teknologi, infrastruktur telekomunikasi dan perangkat hukumnya yang mengaturnya. apakah infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan ini. Sebab perlu diketahui bahwa Cyber Law belum diterapkan pada dunia Hukum di Indonesia.<br /><br />Selain itu masih terdapat kekurangan pada hal pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan sementara penetrasi komputer (PC) di Indonesia masih rendah. Biaya penggunaan jasa telekomunikasi juga masih mahal bahkan jaringan telepon masih belum tersedia di berbagai tempat di Indonesia.. Untuk itu perlu dipikirkan akses ke Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Sementara itu tempat akses Internet dapat diperlebar jangkauannya melalui fasilitas di kampus, sekolahan, dan bahkan melalui warung Internet.Hal ini tentunya dihadapkan kembali kepada pihak pemerintah maupun pihak swasta; walaupun pada akhirnya terpulang juga kepada pemerintah. Sebab pemerintahlah yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan. Namun sementara pemerintah sendiri masih demikian pelit untuk mengalokasikan dana untuk kebutuhan pendidikan. Saat ini baru Institut-institut pendidikan unggulan yang memiliki fasilitas untuk mengakses jaringan IT yang memadai. Padahal masih banyak institut-institut pendidikan lainnya yang belum diperlengkapi dengan fasilitas IT.<br /><br />Harapan kita bersama hal ini dapat diatasi sejalan dengan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih dan semakin murah. <br /><br />sumber : Geger Riyantolong life educationhttp://www.blogger.com/profile/10326425450254066254noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2231752189219561672.post-48197945583236307872009-05-25T08:43:00.000-07:002009-05-25T08:44:00.810-07:00Inovasi Pendidikan di IndonesiaAbstraksi<br /> <br /> Inovasi pendidikan menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dari<br /> masa ke masa. Isu ini selalu juga muncul tatkala orang membicarakan<br /> tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam inovasi<br /> pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah model inovasi yang<br /> baru yaitu: Pertama "top-down model" yaitu inovasi pendidikan yang<br /> diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan<br /> kepada bawahan; seperti halnya inovasi pendidikan yang dilakukan oleh<br /> Departemen Pendidikan Nasinal selama ini. Kedua "bottom-up model"<br /> yaitu model ionovasi yang bersumber dan hasil ciptaan dari bawah dan<br /> dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu<br /> pendidikan.<br /> <br /> Disamping kedua model yang umum tersebut di atas, ada hal lain yang<br /> muncul tatkala membicarakan inovasi pendidikan yaitu: a).<br /> kendala-kendala, termasuk resistensi dari pihak pelaksana inovasi<br /> seperti guru, siswa, masyarakat dan sebagainya, b). faktor-faktor<br /> seperti guru, siswa, kurikulum, fasilitas dan dana c). lingkup sosial<br /> masyarakat.<br /> <br /> 1. Pendahuluan<br /> <br /> Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada<br /> istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu<br /> yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah<br /> penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan<br /> demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru<br /> dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam<br /> kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan<br /> yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati<br /> sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang<br /> (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau<br /> discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk<br /> memecahkan masalah ((Subandiyah 1992:80)<br /> <br /> Proses dan tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan masalah<br /> pengembangan (development), penyebaran (diffusion), diseminasi<br /> (dissemination), perencanaan (planning), adopsi (adoption), penerapan<br /> (implementation) dan evaluasi (evaluation) (Subandiyah 1992:77)<br /> <br /> 2.<br /> Perubahan dan Inovasi Pendidikan<br /> <br /> Pelaksanaaan inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum tidak dapat<br /> dipisahkan dari inovator dan pelaksana inovasi itu sendiri. Inovasi<br /> pendidikan seperti yang dilakukan di Depdiknas yang disponsori oleh<br /> lembaga-lembaga asing cenderung merupakan "Top-Down Inovation".<br /> Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk<br /> meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk<br /> memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan<br /> efisiensi dan sebaginya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan<br /> kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan<br /> memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan<br /> bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak<br /> pelaksanaannya.<br /> <br /> Banyak contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas selama beberpa<br /> dekade terakhir ini, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru<br /> Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Guru Pamong, Sekolah kecil,<br /> Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar jarak jauh dan lain-lain.<br /> Namun inovasi yang diciptakan oleh Depdiknas bekerjasama dengan<br /> lembaga-lembaga asing seperti British Council. USAID dan lain-lain<br /> banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam begitu saja.<br /> Model inovasi yang demikian hanya berjalan dengan baik pada waktu<br /> berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu,<br /> pada saat diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak<br /> mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu<br /> sendiri (di sekolah), tapi juga para pemerhati dan administrator di<br /> Kanwil dan Kandep. Model inovasi seperti yang diuraikan di atas,<br /> lazimnya disebut dengan model 'Top-Down Innovation". Model itu<br /> kebalikan dari model inovasi yang diciptakan berdasrkan ide, pikiran,<br /> kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat yang umumnya<br /> disebut model "Bottom-Up Innovation"<br /> <br /> Ada inovasi yang juga dilakukan oleh guru-guru, yang disebut dengan<br /> "Bottom-Up Innovation". Model yang kedua ini jarang dilakukan di<br /> Indonesia selama ini karena sitem pendidikan yang sentralistis.<br /> <br /> Pembahasan tentang model inovasi seperti model "Top-Down" dan<br /> "Bottom-Up" telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan para ahli<br /> pendidikan. Sudah banyak pembahasan tentang inovasi pendidikan yang<br /> dilakukan misalnya perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar.<br /> White (1988: 136-156) misalnya menguraikan beberapa aspek yang<br /> bekaitan dengan inovasi seperti tahapan-tahapan dalam inovasi,<br /> karakteristik inovasi, manajemen inovasi dan sistem pendekatannya.<br /> <br /> Kennedy (1987:163) juga membicarakan tentang strategi inovasi yang<br /> dikutip dari Chin dan Benne (1970) menyarankan tiga jenis strategi<br /> inovasi, yaitu: Power Coercive (strategi pemaksaan), Rational<br /> Empirical (empirik rasional), dan Normative-Re-Educative (Pendidikan<br /> yang berulang secara normatif).<br /> <br /> Strategi inovasi yang pertama adalah strategi pemaksaaan berdasarkan<br /> kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentangan dengan<br /> kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan<br /> kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan<br /> keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan<br /> dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya<br /> dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan<br /> pikiran-pikiran dari pencipta inovasinya. Pihak pelaksana yang<br /> sebenarnya merupakan obyek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali<br /> tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.<br /> Para inovator hanya menganggap pelaksana sebagai obyek semata dan<br /> bukan sebagai subyek yang juga harus diperhatikan dan dilibatkan<br /> secara aktif dalam proses perencanaan dan pengimplementasiannya.<br /> <br /> Strategi inovasi yang kedua adalah empirik Rasional. Asumsi dasar<br /> dalam strategi ini adalah bahwa manusia mampu menggunakan pikiran<br /> logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional.<br /> Dalam kaitan dengan ini inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya<br /> dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat<br /> bagi penggunanya. Di samping itu, startegi ini didasarkan atas<br /> pandangan yang optimistik seperti apa yang dikatakan oleh Bennis,<br /> Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk (1991).<br /> <br /> Di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang<br /> menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, berkaitan dengan situasi dan<br /> kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di berbagai<br /> bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi untuk<br /> bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman<br /> dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbualan-bulan bahkan<br /> bertahun-tahun. Inovasi yang demikian memberi dampak yang lebih baik<br /> dari pada model inovasi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh<br /> kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi<br /> tersebut.<br /> <br /> Jenis strategi inovasi yang ketiga adalah normatif re-edukatif<br /> (pendidikan yang berulang) adalah suatu strategi inovasi yang<br /> didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud,<br /> John Dewey, Kurt Lewis dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya (1991),<br /> yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaharuan<br /> seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan<br /> dengan manusia.<br /> <br /> Dalam pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman<br /> pelaksana dan penerima inovasi, maka pelaksanaan inovasi dapat<br /> dilakukan berulang kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem<br /> belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi<br /> berulang kali melaksanakan perubahan-perubahan itu sesuai dengan<br /> kaidah-kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model yang<br /> demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan<br /> dengan hasil dari perubahan itu sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan<br /> lebih mendapat porsi yang dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran<br /> dan rasionalitas yang dilakukan berkali-kali agar semua tujuan yang<br /> sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat<br /> tercapai. Para ahli mengungkapkan berbagai persepsi, pengertian,<br /> interpretasi tentang inovasi seperti Kennedy (1987), White (1987),<br /> Kouraogo (1987) memberikan berbagai macan definisi tentang inovasi<br /> yang berbeda-beda. Dalam hal ini, penulis mengutip definisi inovasi<br /> yang dikatakan oleh White (1987:211) yang berbunyi: "Inovation<br /> ......more than change, although all innovations involve change." (<br /> inovasi itu ... lebih dari sekedar perubahan, walaupun semua inovasi<br /> melibatkan perubahan).<br /> <br /> Untuk mengetahui dengan jelas perbedaan antara inovasi dengan<br /> perubahan, mari kita lihat definisi yang diungkapkan oleh Nichols<br /> (1983:4).<br /> <br /> "Change refers to " continuous reapraisal and improvement of existing<br /> practice which can be regarded as part of the normal activity .....<br /> while innovation refers to .... Idea, subject or practice as new by an<br /> individual or individuals, which is intended to bring about<br /> improvement in relation to desired objectives, which is fundamental in<br /> nature and which is planned and deliberate."<br /> <br /> Nichols menekankan perbedaan antara perubahan (change) dan inovasi<br /> (innovation) sebagaimana dikatakannya di atas, bahwa perubahan mengacu<br /> kepada kelangsungan penilaian, penafsiran dan pengharapan kembali<br /> dalam perbaikan pelaksanaan pendidikan yang ada yang diangap sebagai<br /> bagian aktivitas yang biasa. Sedangkan inovasi menurutnya adalah<br /> mengacu kepada ide, obyek atau praktek sesuatu yang baru oleh<br /> seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud untuk memperbaiki<br /> tujuan yang diharapkan.<br /> <br /> Setelah membahas definisi inovasi dan perbedaan antara inovasi dan<br /> perubahan, maka berikut ini akan diuraikan tentang kendala yang<br /> mempengaruhi pelaksanaan inovasi pendidikan.<br /> <br /> 3. Kendala-kendala Dalam Inovasi Pendidikan<br /> <br /> Kendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi<br /> pendidikan seperti inovasi kurikulum antara lain adalah (1) perkiraan<br /> yang tidak tepat terhadap inovasi (2). konflik dan motivasi yang<br /> kurang sehat (3). lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga<br /> mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan (4).<br /> keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi (5). penolakan dari<br /> sekelompok tertentu atas hasil inovasi (6) kurang adanya hubungan<br /> sosial dan publikasi (Subandiyah 1992:81). Untuk menghindari<br /> masalah-masalah tersebut di atas, dan agar mau berubah terutama sikap<br /> dan perilaku terhadap perubahan pendidikan yang sedang dan akan<br /> dikembangkan, sehinga perubahan dan pembaharuan itu diharapkan dapat<br /> berhasil dengan baik, maka guru, administrator, orang tua siswa, dan<br /> masyarakat umumnya harus dilibatkan<br /> <br /> 4. Penolakan (Resistance)<br /> <br /> Setelah memperhatikan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan suatu<br /> inovasi pendidikan, misalnya penolakan para guru tentang adanya<br /> perubahan kurikulum dan metode belajar-mengajar, maka perlu kiranya<br /> masalah tersebut dibahas. Namun sebelumnya, pengertian tentang<br /> resisten itu perlu dijelaskan lebih dahulu. Menurut definisi dalam<br /> "Cambridge International English Dictionary of English" bahwa<br /> Resistance is to fight against (something or someone) to not be<br /> changed by or refuse to accept (something).<br /> <br /> Bertdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan<br /> bahwa penolakan (resistance) itu adalah melawan sesuatu atau seseorang<br /> untuk tidak berubah atau diubah atau tidak mau menerima hal tersebut.<br /> <br /> Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat<br /> diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah<br /> sebagai berikut:<br /> 1. Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan,<br /> penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide<br /> baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan<br /> miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu<br /> dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi<br /> sekolah mereka.<br /> 2. Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan<br /> saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka<br /> laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu<br /> sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa<br /> aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka.<br /> Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap<br /> mempertahankan sistem yang ada.<br /> 3. Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat<br /> (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan<br /> kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan<br /> oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa "mismatch between<br /> teacher's intention and practice is important barrier to the<br /> success of the innovatory program".<br /> 4. Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari<br /> pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala<br /> sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi<br /> ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan<br /> keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah<br /> atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan<br /> kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk<br /> merubahnya.<br /> 5. Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat<br /> menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum<br /> tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.<br /> <br /> Untuk mengatasi masalah dan kendala seperti diuraikan di atas, maka<br /> berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan<br /> inovasi baru.<br /> <br /> 5. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Inovasi<br /> <br /> Untuk menghindari penolakan seperti yang disebutkan di atas,<br /> faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan<br /> adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan,<br /> <br /> 1. Guru<br /> <br /> Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak<br /> yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan<br /> kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar<br /> di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa<br /> siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai.<br /> <br /> Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain<br /> adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai<br /> dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan<br /> siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam<br /> proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan<br /> tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan<br /> guru itu sendiri.<br /> <br /> Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru<br /> mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan<br /> dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan<br /> suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin<br /> mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini<br /> seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang<br /> tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan,<br /> tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan<br /> kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi<br /> pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru<br /> mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai<br /> teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright<br /> 1987)<br /> <br /> 2. Siswa<br /> <br /> Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar<br /> mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses<br /> belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui<br /> penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan<br /> komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa<br /> terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan,<br /> walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada<br /> perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan,<br /> sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang<br /> harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam inovasi<br /> pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya,<br /> karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran<br /> pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena<br /> itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan<br /> penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak<br /> saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga<br /> mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.<br /> <br /> 3. Kurikulum<br /> <br /> Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi<br /> program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam<br /> pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu<br /> kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan<br /> dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan<br /> inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan<br /> unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa<br /> mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan<br /> tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh<br /> karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan itu hendaknya<br /> sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti<br /> dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari<br /> kedua-duanya akan berjalan searah.<br /> <br /> 4. Fasilitas<br /> <br /> Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa<br /> diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar<br /> mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan<br /> hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan.<br /> Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa<br /> dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama<br /> fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam<br /> mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh karena itu, jika<br /> dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu<br /> diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan<br /> sebagainya.<br /> <br /> 5. Lingkup Sosial Masyarakat.<br /> <br /> Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara<br /> langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak,<br /> baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan.<br /> Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun<br /> tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan<br /> dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik<br /> terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa<br /> melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan<br /> terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau<br /> dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan<br /> sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam<br /> melaksanakan inovasi pendidikan.<br /> <br /> Kata Kunci<br /> : inovasi, perubahan, penolakan, kurikulum, siswa, guru, fasilitas,<br /> inovator, pelaksana, masyarakat, sekolah, keterlibatan,<br /> top-down-bottom-up, sosial, program, pendidikan<br /> <br /> 6. Kesimpulan<br /> <br /> Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa<br /> berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di<br /> dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan<br /> siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja<br /> ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat<br /> serta kelengkapan fasilitas.<br /> <br /> Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa<br /> berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain<br /> adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan<br /> secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara<br /> itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu<br /> inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana<br /> dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada<br /> pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab<br /> terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.<br /> <br /> Daftar Pustaka<br /> <br /> Cece Wijaya, Djaja Jajuri, A. Tabrani Rusyam (1991) Upaya Pembaharuan<br /> dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran. Penerbit PT. Remaja<br /> Rosdakarya- Bandung 1991.<br /> <br /> Day, C.P. Whitaker, and D. Wren (1987) Appraisal and Professional<br /> Development in the Primary Schools, Philadelphia : Open University<br /> Press.<br /> <br /> Kennedy, C. (1987) Innovation for Change: teacher development and<br /> innovation. ELT Journal 41/3<br /> <br /> Kouraogo, P. (1987) Curriculum Renewal and INSET in Difficult<br /> circumstance. ELT Journal 41/3<br /> <br /> Munro. R.G. (1977) Innovation Success or Failure?. Bristol: J.W.<br /> Arrowss Smith Cambride English Dictionary<br /> <br /> Nicholls, R. (1983) Managing Educational Innovation. London. George,<br /> Allen and Unwin.<br /> <br /> Subandijah (1992) Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. PT Raja Grafindo<br /> Persada-Yogyakarta<br /> <br /> White, R.V. (1988) The ELT Curriculum: Design, Innovation and<br /> Management. Oxford: Blackwell.<br /> <br /> White, R.V. (1987) Managing Innovation. ELT. Journal 41/3<br /> <br /> Wright, T. (1987) Roles of Teachers and Learners. Oxford: Oxford<br /> University Press. <br /><br />sumber : http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/31/0145.htmllong life educationhttp://www.blogger.com/profile/10326425450254066254noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2231752189219561672.post-68539266073309626962009-05-25T08:40:00.000-07:002009-05-25T08:42:33.211-07:00Inovasi Pendidikan di Era Reformasi Yang MengaharukanA. Pendahuluan<br /><br />Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih belum menjadi harapan. Bahkan hampir dikatakan bukan kemajuan yang diperoleh, tapi “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.<br /><br />Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi dilapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.<br /><br />Tidak dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS.<br /><br />Namun kenyataannya apa yang terjadi di lapangan..?<br /><br />Berikut ini penulis akan paparkan, mengapa penulis berani mengatakan bahwa inovasi pendidikan di era reformasi merupakan sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri..?<br /><br />B. Ujian Nasional<br /><br />Ketika penulis menjadi pengawas dalam EBTANAS dengan sistem pengawasan silang antar sekolah , hampir semua komponen, baik Panitia maupun Pengawas Ruangan EBTANAS begitu disiplin dan sangat tertib, serta sangat menjaga kerahasiaan dalam pelaksanaannya, sehingga hasil yang diperoleh benar-benar murni dan tanpa sedikitpun kecurangan.<br /><br />Namun, setelah diberlakukannya kebijakan tentang Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan seorang siswa pada jenjang satuan pendidikan. Sekolah merasa takut, jika banyak siswanya tidak bisa memperoleh nilai sesuai dengan standar minimal kelulusan. Mengapa demikian...?<br /><br />1. Sekolah akan dianggap gagal jika banyak siswanya tidak lulus. Bahkan mungkin orang tua tidak akan mempercayai sekolah tersebut untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.<br /><br />2. Di era reformasi, dengan temperamen emosional masyarakat yang masih labil bahkan tak terkendali. Jika banyak orang tua yang anaknya tidak lulus, akan menimbulkan suatu gerakan emosional sosial yang tak terkendali dan kemungkinan sekolah akan menjadi sasaran amuk masa.<br /><br />3. Guru sebagai orang tua di sekolah yang selama 3 tahun membimbing siswa, tidak akan tega jika ternyata banyak siswanya tidak bisa lulus, hanya karena dengan sebuah penilaian sesaat.<br /><br />Dari ke tiga alasan tersebut, akhirnya dengan berbagai cara, sekolah melakukan sebuah usaha untuk bisa membantu siswanya lolos dari jeratan Ujian Nasional. Semuanya dilakukan dengan penuh suka-rela tanpa paksaan, walaupun seluruh batin Guru merintih sedih dan penuh haru.<br /><br />“Inilah salah satu kecurangan di dunia pendidikan khususnya sekolah, yang belum pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”, dan semuanya dilakukan sebagai perlawanan sekolah terhadap kebijakan pemerintah.<br /><br />Yang paling menyedihkan lagi, ketika aparat birokrat dengan bangga menyatakan keberhasilannya dengan menyebutkan sekolah-sekolah yang meluluskan siswanya sampai 100%, dan akan diberikan penghargaan. (Jika menggunakan akal manusia, tidak mungkin seluruh siswa pada sebuah sekolah bisa lulus sampai 100%. Bebek saja ada yang tidak bertelurnya. Benar khan Bapak/Ibu Guru..??). <br /><br />C. Administrasi Sekolah<br /><br />Sebelum era-reformasi, siswa yang lulus akan segera memproses ijasahnya untuk bisa dibawa dan digunakan, baik untuk melanjutkan sekolahnya maupun untuk dijadikan syarat mencari pekerjaan.<br /><br />Namun apa yang terjadi sekarang..?<br /><br />Setelah dinyatakan lulus, siswa dihadapkan kepada proses menunggu ijasah yang begitu lama dan tak tentu kapan Izasah tersebut dapat diterima. Untuk tahun ajaran 2005-2006, blanko ijasah baru diterima oleh sekolah setelah lebih dari sebulan dari semenjak siswa dinyatakan lulus, sehingga tak heran jika di setiap sekolah masih banyak tumpukan ijasah yang belum diambil oleh pemiliknya, dengan alasan, siswa tersebut sudah berada di luar kota dan belum membutuhkan ijasah tersebut.<br /><br />“Inilah kejadian yang belum pernah terjadi selama bangsa ini berdiri...”<br /><br /> Bahkan Buku Raport untuk tahun ajaran 2006-2007, sampai saat ini belum tentu rimbanya. Ini juga belum pernah terjadi selama bangsa ini berdiri.<br /><br />Benar-benar luar biasa khan...????? <br /><br /><br />sumber : http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=2741long life educationhttp://www.blogger.com/profile/10326425450254066254noreply@blogger.com0